Belajar Aktif
1. Kondisi dan Faktor Penyebab Pelaksanaan Belajar Aktif di Sekolah
Pengembangan pendekatan belajar aktif secara serius mulai
dilakukan pada tahun 1979 yang dikenal dengan nama Proyek Supervisi Cianjur,
Jawa Barat. Proyek ini dilaksanakan oleh Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdikbud bekerja sama dengan Ditjen Dikdasmen dan
sejumlah IKIP Negeri. Proyek ini merupakan perwujudan kerja sama antara Depdikbud
dengan Pemerintah Inggris, yang dikelola oleh The British Council. Cikal bakal pengembangan pendekatan belajar
ini sebenarnya telah dirintis oleh P3G (Pusat Penataran Pendidikan Guru) dan sekarang
menjadi P4TK, yang dimulai dari mata pelajaran IPA sekitar tahun 1970-an.
Hasil-hasil Proyek Supervisi Cianjur kemudian diintegrasikan
ke dalam pengembangan Kurikulum 1984. Kemudian, hasil-hasil proyek ini
direplikasi di 7 kabupaten/kotamadya di Indonesia. Bersamaan dengan itu,
dilakukan pula diseminasi hasil-hasil tersebut melalui penataran yang dilakukan
oleh Direktorat Pendidikan Dasar, Ditjen Dikdasmen. Apa yang dilakukan di
tingkat SD membawa dampak pula bagi pengembangan pendekatan belajar aktif di
tingkat SMP, SMA, SMK, dan pendidikan nonformal serta madrasah walaupun dengan
istilah berbeda dan dilaksanakan dengan sistem dan program yang berbeda pula.
Selanjutnya, hasil-hasil pengembangan pendekatan belajar aktif diintegrasikan
dalam pengembangan Kurikulum 1994.
Pada tahun 1999 Direktorat Sekolah Dasar, Ditjen
Dikdasmen, yang didukung narasumber dari Pusat Kurikulum, Balitbang
Depdiknas, bekerja sama dengan UNICEF dan UNESCO memprakarsai rintisan
pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenangkan (PAKEM) serta partisipasi masyarakat. Program ini dikenal dengan
nama MBS-PAKEM, bahkan saat ini
berkembang dengan istilah PAIKEM
(Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan
Menyenagkan). Program yang dimulai pada beberapa kabupaten di 3
provinsi ini segera menyebar ke provinsi-provinsi lain melalui dukungan
berbagai NGO dan mendapatkan tanggapan yang positif dari berbagai dinas
pendidikan provinsi dan kabupaten/kota. Melalui upaya ini implementasi
MBS-PAKEM telah masuk ke dalam sistem pendidikan nasional.
Dewasa ini secara umum dapatlah dikatakan bahwa upaya
pembinaan guru, kepala sekolah, dan pengawas serta pembina di bidang pendidikan
daerah dalam melaksanakan belajar aktif lebih luas dilakukan pada tingkat
sekolah dasar dan sekolah menengah pertama serta madrasah. Sejalan dengan
penyebaran gagasan-gagasan MBS-PAKEM, Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas
telah mengintegrasikan pendekatan belajar aktif ke dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, yang kemudian dilanjutkan dengan Standar Isi yang lebih dikenal dengan
Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mulai tahun 2006.
Di Indonesia pendekatan belajar aktif sebenarnya telah
cukup lama diperkenalkan pada pendidikan formal maupun nonformal, baik sekolah
maupun madrasah. Secara khusus di tingkat SMP sejak tahun 2001/2002 telah mulai
diimplementasikan pendekatan belajar aktif dengan nama Contextual Teaching and Learning (CTL). Di tingkat SMA, SMK,
pendidikan nonformal (Program Paket A, B, dan C) dan madrasah walaupun dengan
istilah yang berbeda dan belum dikembangkan secara tersistem, namun telah menekankan
pula pendekatan belajar aktif.
Kondisi dan
faktor penyebab pelaksanaan belajar aktif di
sekolah dasar dapat digambarkan berikut ini. Kondisi ini secara umum
relatif menggambarkan pula pelaksanaan belajar aktif di tingkat SMP, SMA, SMK,
madrasah dan pendidikan nonformal.
2. Permasalahan Proses Belajar-Mengajar
Permasalahan yang dihadapi dalam proses belajar-mengajar
antara lain adalah:
·
Terbentuknya opini di masyarakat bahwa nilai ujian
nasional seolah-olah menggambarkan prestasi belajar secara utuh. Demikian pula
kemenangan dalam olimpiade, kontes idol, atau perlombaan olahraga dipandang
sebagai cermin prestasi belajar yang utuh. Apakah ukuran-ukuran ini valid dan dapat memberikan kontribusi
yang berarti bagi karakter, budaya dan kemajuan bangsa serta memberikan bekal
bagi anak-anak kita untuk menghadapi kehidupan di masa depan?
·
Belajar yang
terpisah-pisah baik antarmata pelajaran maupun antara satu kompetensi dengan
kompetensi lainnya.
·
Proses
belajar-mengajar tidak berpusat pada peserta
didik.
·
Proses
belajar-mengajar yang belum mampu mendorong timbulnya kreativitas peserta
didik.
·
Terbatasnya sumber
daya yang tersedia.
·
Banyak peserta
didik berasal dari keluarga atau orang tua yang masih menunjukkan rendahnya
kesadaran mengenai pentingnya pendidikan, sehingga dukungan pada peserta didik
masih terbatas.
·
Banyak guru
belum terlatih secara baik dalam melaksanakan belajar aktif.
·
Kemampuan
membaca, menulis, dan berhitung (Calistung) peserta didik di SD dan MI umumnya masih lemah,
demikian pula keterampilan berbahasa peserta didik pada jenjang pendidikan
menengah tampaknya juga masih banyak masalah.
·
Banyak peserta
didik yang watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian serta sistem berpikirnya
belum sejalan dengan moral dan norma keindonesiaan.
Guna
menanggulangi permasalahan tersebut, salah satunya perlu diterapkan pendekatan
belajar aktif. Melalui pendekatan ini diharapkan peserta didik memiliki bekal
kemampuan kreatif dan inovatif serta berbudaya yang pada gilirannya
menggambarkan karakter bangsa. Melalui upaya ini, kita berusaha menciptakan
citra baru tentang satuan pendidikan berprestasi sebagai sekolah yang mampu
membuat para peserta didiknya kreatif dan inovatif, berbudaya serta mampu
menumbuhkembangkan jiwa kewirausahaan yang kesemuanya itu merupakan
pengembangan karakter bangsa yang diinginkan bersama.
Guna meningkatkan kemampaun profesional guru, pengawas,
dan para pembina pendidikan di semua lini diperlukan pelatihan secara
berkesinambungan agar mereka lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan
tugasnya. Khusus bagi guru, pelatihan seperti ini diharapkan mampu
mengembangkan beragam kegiatan belajar di masing-masing satuan pendidikannya
yang mengaktifkan dan membuat peserta didik kreatif dan inovatif.
B. Pentingnya Belajar Aktif
Penerapan pendekatan belajar aktif yang ditunjang
pelaksanaan manajemen berbasis sekolah memiliki dasar hukum yang bersumber dari
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Perundang-undangan ini selanjutnya dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan berikut ini.
l Proses
belajar-mengajar pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas,
dan kemandirian sesuai dengan minat, bakat, dan perkembangan fisik serta
psikologis peserta didik. (Pasal 19, Ayat 1).
l Pengelolaan
satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan
manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan,
partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas. (Pasal 49, butir 1).
Pendekatan belajar aktif dewasa ini amat dominan
dilaksanakan di berbagai negara maju dan juga diikuti oleh banyak negara
berkembang. Anutan pendekatan ini pada dasarnya dipengaruhi oleh aliran
konstruktivisme dalam teori belajar.
Perkembangan teori belajar berdasarkan riset selama
hampir 100 tahun secara bertahap mengubah paradigma tentang bagaimana
seharusnya guru mengajar dan/atau peserta didik belajar. Rentangan riset itu
terutama dimulai dari eksperimen Ivan Pavlov (1849 – 1936) dengan air
liur anjing yang diberi stimulus. Kemudian, Jean Piaget (1896 – 1980) mencapai
‘puncak’ riset melalui temuannya tentang perkembangan kemampuan kognitif
manusia. Temuan Piaget kemudian diperkaya dengan gagasan Lev Vygotsky (1896 –
1936) tentang perkembangan kognitif anak dalam hubungannya dengan bahasa dalam
konteks historis, kultural, dan sosial tempat anak hidup.
Temuan teori yang dewasa ini amat populer dan berdampak luas
pada skala internasional adalah teori belajar konstruktivisme. Konstruktivisme
memantapkan teori-teori belajar sebelumnya dan memberikan pencerahan bagi
peralihan dari konsep belajar yang berpusat pada guru
(teacher-centred learning) ke arah
konsep belajar yang berpusat pada peserta didik
(student-centred learning). Orientasi
yang berpusat kepada peserta didik pada akhirnya diwujudkan dalam pendekatan
belajar aktif (active learning approach).
Ini adalah paradigma yang mempengaruhi beragam inovasi pendidikan yang
dilakukan di berbagai penjuru dunia sejak awal tahun 1970 hingga sekarang.
Gambar berikut ini menunjukkan perkembangan kontribusi
teori-teori belajar terhadap paradigma belajar aktif.
Teori-teori belajar yang ditemukan pada akhirnya
berkulminasi pada teori konstruktivisme. Teori konstruktivisme pada dasarnya:
l Menyesuaikan
aplikasi teori dengan cara kerja otak seperti yang dilaporkan oleh temuan riset
neurosains.
l Mengadopsi
hasil riset biologi tentang cara kerja tubuh.
l Mengadopsi
temuan riset fisika tentang alam semesta yang bersinergi sebagai satu sistem.
l Menyelaraskan
aplikasi nilai-nilai dan pandangan historis, kultural, dan sosial, terutama
melalui bahasa, dalam penerapan belajar aktif, baik dari hasil riset ilmu-ilmu
sosial maupun dari segi konsepsi filsafat, teologi agama, dan humaniora.
l Mengadaptasi
temuan dan praksis yang relevan dari dunia kerja.
Penerapan teori belajar konstruktivisme secara kumulatif
tampil dalam istilah active learning
(belajar aktif). Temuan teori lanjutan dan hasil uji coba penerapan dalam
proses belajar-mengajar tampil dengan beragam istilah, seperti brain-based learning, multiple intelligences
learning approach, cooperative learning, contextual teaching and learning, dan
quantum learning. Penerapannya
sebenarnya hanya menekankan salah satu aspek, unsur, atau bidang khusus belajar
aktif. Hampir semuanya bernaung di bawah paradigma belajar aktif.
Ada 5 teori belajar yang berkembang, yaitu teori
behaviorisme, teori kognitivisme, teori rekonstruktivisme, teori belajar
informal dan post-modern,
dan teori-teori belajar yang lain. Dari teori behaviorisme dan teori
kognitivisme, pendekatan belajar aktif yang dikembangkan menurut teori
rekonstruktivisme mengadopsi gagasan-gagasan yang relevan dengan tuntutan dan
prasyarat pendekatan belajar aktif ini.
Pandangan mengenai anak menurut aliran konstruktivisme dikemukakan pada
gambar berikut ini.
C. Pengertian Belajar Aktif
Gagasan-gagasan pokok pendekatan belajar aktif pada
prinsipnya mengikuti gagasan inti teori belajar konstruktivisme. Perkembangan
dalam terapan melahirkan paradigma baru, yaitu paradigma belajar aktif.
Amatilah gambar berikut ini.
Sejumlah gagasan pokok dalam penerapan paradigma belajar
aktif dikemukakan berikut ini.
1.
Mengkonstruksi
Makna
Konstruktivisme menandaskan bahwa manusia mengkonstruksi
(membangun) makna dari struktur pengetahuan aktual yang dimiliki. Teori ini
membimbing pendekatan dalam mendidik anak. Konstruktivisme menekankan kegiatan
belajar yang berkembang melalui dukungan fasilitator. Fasilitator memulai dan
mengarahkan peserta didik agar mampu mengkonstruksi makna konsep-konsep
yang baru.
Jean Piaget sebagai pelopor teori konstruktivisme
memandang bermain sebagai bagian penting dan perlu bagi perkembangan kognitif
anak. Ia meneliti dan memberikan landasan ilmiah kepada pandangannya. Sekarang
teori konstruktivisme tidak hanya diterapkan di lingkungan pendidikan formal
dan perguruan tinggi tetapi juga pada kegiatan belajar pendidikan nonformal dan
informal.
Piaget menjelaskan mekanisme internalisasi pengetahuan
anak. Ia menyatakan, melalui proses akomodasi (accommodation) dan
asimilasi (assimilation), individu mengkonstruksi pengetahuan baru dari
pengalamannya. Ketika melakukan asimilasi, individu memasukkan pengalaman baru
ke dalam skema (kerangka) yang sudah ada tanpa mengubah skema itu. Jika
pengalaman individu bertentangan dengan representasi internal yang sudah ada,
ia dapat mengubah persepsi pengalamannya agar cocok dengan representasi
internal.
Akomodasi adalah proses membentuk kembali representasi
mental tentang dunia luar agar cocok dengan pengalaman baru. Akomodasi adalah
mekanisme yang mengubah kegagalan belajar ke arah yang benar.
Misalnya, Thomas Ameriko yang lahir dan besar di Timor
Timur merantau ke Pulau Jawa, ke Kota Malang. Di Dili ia sudah memiliki
pengalaman naik bus. Ia telah memiliki konsep tentang apa itu bus. Sesudah satu
bulan di Malang, tiba-tiba ia melihat kereta api lewat. Ia langsung berteriak,
“Eh, itu bus kok bergandeng-gandeng”. Ia
melakukan proses asimilasi. Konsep bus ia terapkan terhadap kereta api karena
sebelumnya ia tak memiliki konsep tentang apa itu kereta api. Kemudian,
temannya menjelaskan, “Bukan, itu bukan bus. Itu yang namanya kereta api”. Ia
lalu mengubah konsep kereta api sebagai bus yang bergandeng-gandeng menjadi
konsep kereta api yang benar. Ia melakukan proses akomodasi setelah mengalami
‘kegagalan’ belajar.
Contoh yang lain dikemukakan berikut ini. Ketika Eko
(nama kreasi) mengikuti kursus pendidikan di Cambridge, Inggris, suatu malam
bertiup angin agak kencang. Eko membuka jendela kamar dan melihat ribuan
‘kapas’ beterbangan di luar. Ia menduga, wah, ada truk di mana yang membawa
berkarung-karung kapas dan karung-karung itu terbuka sehingga ribuan kapas
beterbangan di udara. Pada tahap ini Eko melakukan proses asimilasi dengan
pengetahuan tentang kapas yang diperolehnya dari pengalaman di Indonesia. Pada
pagi hari esoknya, Eko pergi ke luar dan betapa takjubnya, ia melihat hamparan
salju di seluruh halaman gedung. Ia serentak berpendapat, ah ini yang namanya
salju. Berarti, ‘kapas-kapas’ beterbangan yang ia lihat tadi malam itu
sebenarnya butir-butir salju yang turun ke tanah. Ia lalu melakukan proses
akomodasi dan hasilnya adalah mengubah pendapatnya tentang kapas-kapas yang
beterbangan ke arah pandangan yang benar tentang salju. Eko belajar melalui
pengalaman, dari proses asimilasi pengetahuan sebelumnya yang sesuai dengan
konteks Indonesia ke arah pandangan baru berdasarkan pengalaman baru melalui
proses akomodasi.
Berikut ini dikemukakan sebuah contoh dari percobaan IPA
anak-anak SD Kelas IV. Topik yang sedang dipelajari adalah “Melayang, terapung,
dan tenggelam”. Sebelum melakukan percobaan tiap kelompok anak membuat
hipotesis untuk tiap benda yang hendak dimasukkan ke dalam air, apakah
melayang, terapung, atau tenggelam. Ternyata semua hipotesis yang dibuat
terbukti benar. Misalnya, batu tenggelam, paku yang diikat dengan potongan kayu
kering melayang, dan kertas terapung. Pembenaran hipotesis ini sesuai dengan
pengetahuan yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini
mereka melakukan asimilasi dengan kerangka pengetahuan (skemata) yang telah
diperoleh sebelumnya.
Kemudian guru menugaskan anak-anak memasukkan plastisin
(dapat juga dipakai lilin malam). Hipotesis yang dibuat bahwa benda itu akan
tenggelam ternyata benar. Namun, kemudian guru meminta anak-anak mengubah
bentuk plastisin itu dari bentuk gumpalan menjadi bentuk yang pipih, rata, dan
lebar. Ketika mereka memasukkannya ke dalam air dalam posisi mendatar
(horisontal), ternyata plastisin itu terapung. Anak-anak heran dan tidak tahu
mengapa. Guru lalu bertanya mengapa hal ini bisa terjadi, apa penyebabnya. Dari
berbagai pendapat yang dikemukakan, ternyata dari hasil diskusi mereka sampai
kepada kesimpulan, bahwa plastisin yang pipih, rata, dan lebar itu mendapatkan
tekanan ke atas dari air dan karena permukaan itu lebar jumlah tekanan dari air
itu cukup banyak. Akibatnya, plastisin itu terapung. Untuk membuktikan
kesimpulan ini, mereka mencoba dengan benda yang lain, seperti mistar
(penggaris) plastik dan potongan seng yang dimasukkan dalam posisi mendatar.
Setelah yakin, anak-anak mengubah pendapatnya, bahwa banyak benda yang walaupun
berat tetapi jika berbentuk pipih, rata, dan lebar dimasukkan ke dalam air akan
terapung. Pada tahap ini anak-anak melakukan akomodasi terhadap kerangka
pikiran (skemata) yang telah terbentuk sebelumnya. Mereka mengubah pendapatnya
setelah mendapatkan pengalaman baru melalui percobaan.
Konstruktivisme sosial memandang setiap peserta didik
sebagai individu yang unik dengan kebutuhan dan latar belakang yang unik.
Peserta didik juga dilihat sebagai individu yang kompleks dan multidimensional.
Konstruktivisme sosial tidak hanya mengakui keunikan dan kompeksitas peserta
didik tetapi juga benar-benar mendorong, menggunakan, dan memberikan penghargaan
kepadanya keunikan dan kompleksitas sebagai bagian integral proses belajar
(Wertsch 1997).
Konstruktivisme sosial mendorong peserta didik mencapai
versinya sendiri tentang kebenaran, yang dipengaruhi latar belakang dunia
fisik, lingkungan budaya, atau pandangannya tentang dunia. Perkembangan
historis dan sistem simbol, seperti sistem bahasa, logika, dan matematika,
diwarisi peserta didik sebagai warga budaya tertentu dan hal ini dipelajarinya
sepanjang hayatnya. Ia juga menekankan pentingnya hakikat interaksi sosial
peserta didik dengan warga masyarakat yang terdidik. Tanpa interaksi sosial
itu, tak mungkin tercapai makna sosial dari sistem simbol yang penting dan
belajar bagaimana menggunakannya. Anak kecil mengembangkan kemampuan
berpikirnya melalui interaksi dengan anak-anak yang lain, orang dewasa, dan
dunia fisik. Pentinglah memperhatikan latar belakang dunia fisik dan lingkungan
budaya dan sosial peserta didik melalui proses belajar, karena latar belakang
ini juga membantu membentuk pengetahuan dan kebenaran yang diciptakan,
ditemukan, dan dicapai peserta didik dalam proses belajar (Wertsch, 1997).
3. Tanggung Jawab Belajar adalah Peserta didik dan Peserta Didik menjadi Peserta Didik Pembelajar atau Peserta Didik pengajar
Tanggung jawab belajar selalu harus semakin bergantung
kepada peserta didik dan ditekankan agar peserta didik mengkonstruksi
pengertian atau konsepnya sendiri. Untuk itu, perlu ditempuh pemberian
peran kepada peserta didik menjadi peserta didik pembelajar atau peserta didik
pengajar. Jika peserta didik “mengajar” teman-temannya, misalnya sebagai tutor
sebaya, ia akan menjadi sangat aktif untuk mempersiapkan diri agar mampu
mengajar teman-temannya, misalnya melalui usaha memahami materi/kompetensi yang
akan diajarkan.
Dengan demikian, peserta didik tidak hanya mencerminkan
dan merefleksikan apa yang dibaca. Peserta didik mencari makna dan akan mencoba
menemukan regularitas dan keteraturan dalam berbagai peristiwa dunia, bahkan
walaupun informasi belum lengkap (Von Glasersfeld, 1989)
4. Motivasi Belajar
Motivasi belajar peserta didik amat bergantung kepada
rasa percaya diri atau potensi belajarnya (Von Glasersfeld, 1989) dan kemampuan
guru mengantar peserta didik mengenali bakat dan potensi dirinya (motivasi
ekstrinsik) sehingga tumbuh keyakinan untuk percaya kepada keunikan dirinya dan
mampu mengekspresikannya (motivasi intrinsik, Champion Mind).
Perasaan kompeten dan kepercayaan kepada potensi
memecahkan masalah baru berasal dari pengalaman pertama menguasai masalah di
masa lampau dan lebih kuat daripada pengakuan eksternal dan motivasi ekstrinsik
mana pun (Prawat and Floden, 1994). Ini berkaitan dengan pandangan Vygotsky (1978)
tentang zona perkembangan terdekat (zone
of proximal development), di mana anak ditantang untuk sedikit
melangkah maju dari tingkat perkembangannya sekarang. Melalui pengalaman sukses
menyelesaikan tugas yang menantang, anak memperoleh rasa percaya diri dan
motivasi untuk menghadapi tantangan yang lebih kompleks.
Menurut pandangan Rousseau (1762) ... masalah pendidikan yang terbanyak adalah masalah motivasi, karena para
guru mencoba mempercepat berbagai hal. Mereka berbicara tentang geografi
sebelum anak tahu jalan di sekitar belakang rumahnya. Mereka mengajar sejarah
sebelum anak mengerti sesuatu tentang motivasi orang dewasa.... Akan jauh lebih
baik, membiarkan pertanyaan-pertanyaan muncul secara alamiah .... Bila seorang
anak telah termotivasi sendiri, guru tidak dapat menahan dia belajar. (Dikutip
dari The Rise and Fall of Childhood, oleh C. John Sommerville, 1990).
Menurut
pendekatan konstruktivisme sosial, instruktur harus mengadaptasi peran
fasilitator dan bukan peran sebagai guru.
Peran pengajar (instruktur)
|
Peran fasilitator
|
Berceramah tentang materi pelajaran.
|
Membantu peserta didik mendapatkan
pemahaman sendiri tentang materi.
|
Peserta didik berperan pasif dalam
proses belajar-mengajar
|
Peserta didik memainkan peran aktif
dalam proses belajar-mengajar
|
Menekankan kepada instruktur dan
materi
|
Penekanan kepada peserta didik
|
Tuntutan perubahan peran yang dramatis membutuhkan
rangkaian keterampilan yang berbeda
|
|
Guru memberi tahu
|
Fasilitator bertanya
|
Guru ‘berpidato’ dari depan
|
Fasilitator mendukung dari belakang
|
Guru menjawab menurut kurikulum
|
Fasilitator memberi panduan dan
menciptakan lingkungan bagi peserta didik untuk mencapai kesimpulan sendiri
|
Guru bermonolog
|
Fasilitator secara kontinu berdialog
dengan peserta didik
|
Guru menceritakan pengalamannya
|
Fasilitator mampu mengadaptasi
pengalaman belajar ‘yang melangit’ dengan menggunakan inisiatif peserta didik
untuk mengendalikan pengalaman belajar ke tempat peserta didik ingin
menciptakan nilai.
|
(Gamoran, Secada& Marrett 1998; Brownstein 2001;
Rhodes and Bellamy 1999)
Penjelasan
gambar
Guru pada gambar
sebelah kiri bertelinga kecil karena tidak ingin mendengarkan peserta didik,
matanya kurang terbuka karena jarang mengamati peserta didik, mulutnya lebar
karena terlalu sering berceramah, dan jari telunjuknya sering diacungkan untuk
menyuruh peserta didik. Sedangkan, guru pada gambar sebelah kanan bertelinga
lebar karena sering mendengarkan peserta didik, matanya terbuka lebar karena
sering mengamati peserta didik, mulutnya sempit karena jarang berceramah, dan
kedua belah tangannya terbuka menerima peserta didik.
Lingkungan belajar harus juga didesain untuk mendukung
dan menantang peserta didik untuk berpikir (Di Vesta, 1987). Walaupun dituntut
membuat peserta didik merasa memiliki masalah dan proses solusinya, tidaklah
berarti bahwa aktivitas atau solusi apa pun sudah cukup. Tujuan yang kritis
adalah mendukung peserta didik menjadi pemikir yang efektif. Ini bisa dicapai
jika guru berperan jamak, seperti menjadi konsultan dan pelatih.
Belajar adalah proses aktif peserta didik menemukan
fakta, prinsip, dan konsep sendiri. Untuk itu, pentinglah mendorong peserta
didik berasumsi (menebak atau berhipotesis) dan berpikir secara intuitif (Brown
dkk., 1989; Ackerman, 1996). Dalam kenyataan, realitas bukanlah sesuatu yang
dapat ditemukan karena tidak ada sebelumnya. Kukla (2000) membuktikan bahwa
realitas dikonstruksi oleh kegiatan individu sendiri dan bahwa orang-orang,
bersama-sama sebagai warga suatu masyarakat, menemukan ciri-ciri realitas
(dunia).
Penganut konstruktivisme yang lain setuju dan menekankan
bahwa individu membangun makna melalui interaksi satu sama lain dan dengan
lingkungan tempat mereka hidup. Dengan demikian, pengetahuan adalah produk manusia
dan dikonstruksi secara sosial dan budaya (Ernest, 1991; Prawat and Floden,
1994). McMahon (1997) setuju bahwa belajar adalah suatu proses sosial. Ia
menyatakan bahwa belajar bukanlah proses yang hanya terjadi dalam pikiran
individu, bukanlah suatu perkembangan perilaku yang pasif yang dibentuk oleh
kekuatan eksternal. Belajar yang bermakna terjadi ketika individu terlibat
dalam aktivitas sosial.
Vygotsky (1978) juga menekankan konvergensi elemen-elemen
sosial dan praktis dalam belajar. Momen yang amat signifikan dalam lintasan
perkembangan intelektual terjadi ketika berbicara (speech) dan kegiatan praktik, dua jalur perkembangan yang
sebelumnya sepenuhnya tak saling tergantung (independen), berkonvergensi.
Melalui kegiatan praktik peserta didik mengkonstruksi makna dalam dirinya (pada
tingkat intrapribadinya), sedangkan berbicara menghubungkan makna ini dengan
dunia antarpribadi yang di-share oleh peserta didik dan budayanya.
Belajar adalah mengalami
Teori Experiential
Learning Kolb menjelaskan konsep mendasar sehingga perilaku belajar manusia
dapat dipahami dan diterangkan. Pemahaman ini dapat membantu peserta didik atau
orang lain dalam belajar. Teori ini diterima di berbagai kalangan, baik
akademisi, guru, manajer maupun pelatih.
‘‘Belajar
adalah proses di mana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman.
Pengetahuan adalah hasil kombinasi mencerap pengalaman dan mentransformasinya.”
David Kolb.
Jadi,
Pengalaman + Pemahaman = Pengetahuan
(Experience + Understanding = Knowledge)
Kolb memaparkan
6 ciri khas experiential learning:
a. Belajar paling baik dipandang sebagai
suatu proses, bukan sebagai hasil belajar (outcomes).
b. Belajar adalah suatu proses
berkesinambungan berdasarkan pengalaman.
c. Belajar menuntut resolusi konflik
antara dua cara adaptasi terhadap dunia yang bertentangan secara dialektik
(diperdebatkan).
d. Belajar adalah suatu proses holistik
adaptasi terhadap dunia.
e. Belajar melibatkan transaksi antara
pribadi dan lingkungan.
f. Belajar adalah
suatu proses menciptakan pengetahuan, yang merupakan hasil transaksi antara
pengetahuan sosial dan pengetahuan personal.
D. Prinsip-prinsip Belajar Aktif
Prinsip-prinsip belajar aktif dikemukakan pada gambar berikut ini.
Selanjutnya diuraikan masing-masing prinsip tersebut.
1. Pola Mengajar Duduk,
Dengar,
Catat
dan Hafal
tidak Dapat
Dipertahankan
Berikut ini dikemukakan Gambar Kerucut Pengalaman.
Hasil penelitian yang dipaparkan pada gambar ini
memperlihatkan bahwa metode ceramah yang amat dominan dalam pola mengajar
tradisional amat tidak efektif. Apa yang masuk melalui ”telinga kiri” peserta
didik akan segera keluar melalui ”telinga kanan”. Yang lebih penting adalah
guru berupaya menugaskan peserta didik mengerjakan hal-hal nyata melalui
berbuat, melakukan, sambil dikombinasi dengan apa yang peserta didik dengar,
baca, amati, diskusikan, dan presentasikan. Di samping itu, cara kerja otak
ternyata juga tidak mendukung pola belajar yang banyak ceramah.
2.
Interaksi Dinamis antara Tugas,
Guru,
dan Peserta
Didik
Guru dan peserta didik bersama-sama terlibat secara
setara dalam proses belajar (Holt and Willard-Holt, 2000). Ini berarti
pengalaman belajar, baik yang
bersifat subjektif maupun yang objektif dan budaya, nilai-nilai, dan latar
belakang guru, menjadi bagian
esensial dalam interaksi antara peserta didik dan tugas dalam membentuk makna.
Atau, peserta didik
membandingkan versi kebenarannya dengan versi guru dan rekan peserta didik yang
lain untuk mendapatkan versi kebenaran yang baru dan diuji secara sosial
(Kukla, 2000). Tugas atau masalah adalah penghubung antara guru dan atau
peserta didik (McMahon, 1997). Ini menciptakan interaksi yang dinamis antara
tugas, guru, dan peserta didik. Ini berarti bahwa peserta didik dan guru harus
mengembangkan kesadaran tentang pandangan pihak lain dan kemudian melihat
kembali kepercayaan, standar, dan nilai, yang sekaligus bersifat subjektif dan
objektif (Savery, 1994).
Beberapa pendekatan belajar yang memungkinkan belajar
interaktif ini meliputi pengajaran resiprokal, peer collaboration, cognitive
apprenticeship, dan pengajaran berbasis masalah, pengajaran
jangkar (anchored instruction) dan
pendekatan lain yang melibatkan belajar dengan orang lain.
Para peserta didik yang memiliki keterampilan dan latar
belakang yang berbeda bekerja sama dalam tugas dan diskusi untuk mencapai
pemahaman bersama yang di-share untuk
mencapai kebenaran dalam suatu bidang khusus (Duffy and Jonassen, 1992).
Konteks tempat
terjadi aktivitas belajar adalah sentral dalam belajar (McMahon, 1997).
Pengetahuan yang terpisah dari konteks (decontextualised
knowledge) tidak memberikan keterampilan menerapkan pemahaman dalam tugas yang
otentik, karena individu tidak menangani konsep dalam lingkungan yang kompleks
dan mengalami interelasi yang kompleks dalam lingkungan itu yang menentukan
bagaimana dan di mana konsep digunakan. Belajar dalam situasi yang otentik
tempat peserta didik berperan serta dalam kegiatan yang langsung relevan dengan
aplikasi belajar dan yang berlangsung dalam budaya yang mirip dengan setting
yang diterapkan (Brown et al., 1989).
4.
Keterpaduan Proses Belajar-mengajar dan Penilaian
Hakikat belajar yang interaktif, objektif, dan transparan
diperluas sampai ke proses penilaian. Penilaian dilihat sebagai proses dua arah
yang melibatkan interaksi antara guru dan peserta didik, sehingga merupakan
bagian tak terpisahkan dari program pembelajaran dan harus dapat memberikan
dampak yang positif terhadap pengembangan kompetensi sasaran (Holt and
Willard-Holt, 2000). Oleh karena itu,
dalam melaksanakan penilaian guru sebaiknya memandang penilaian dan kegiatan
pembelajaran secara terpadu sehingga penilaian berjalan bersama-sama dengan
proses belajar-mengajar. Dengan demikian, penilaian dilakukan selama proses
belajar-mengajar berlangsung.
Guru harus melihat penilaian baik pengetahuan,
keterampilan maupun perilaku sebagai suatu proses berkesinambungan dan
interaktif yang menilai pencapaian mutu pengalaman belajar dan kompetensi
peserta didik dalam pelajaran. Umpan balik yang diciptakan dalam proses
penilaian menjadi dasar untuk perkembangan selanjutnya.
Pengetahuan sebaiknya tidak dibagi-bagi ke dalam
mata-mata pelajaran dan kompartemen (kavling) yang berbeda-beda, tetapi harus
ditemukan sebagai satu keseluruhan yang terintegrasi (McMahon, 1997; Di Vesta,
1987).
Belajar aktif dapat dilakukan melalui proses belajar yang
terintegrasi yang memberikan peluang untuk mengembangkan keterampilan berpikir
kritis dan kreatif
karena otak
peserta didik lebih mudah memahami keseluruhan daripada bagian-bagian dan
karena perkembangan jumlah mata pelajaran di satuan pendidikan jenjang
pendidikan dasar dan menengah cukup banyak. Sedangkan dewasa ini kecenderungan
di dunia adalah mengintegrasikan mata-mata pelajaran yang terpisah-pisah.
Karena itu, digunakanlah pendekatan integrasi. Pendekatan ini pun kini semakin
banyak diterapkan di perguruan tinggi.
Berikut ini dikemukakan contoh pengintegrasian berbagai
mata pelajaran ke dalam tema “Hutan”.
Pendekatan integrasi menitikberatkan pentingnya konteks
dalam penyajian belajar (Brown dkk., 1989). Dunia tempat peserta didik belajar
tidak didekati sebagai suatu bentuk mata-mata pelajaran yang berbeda, tetapi
sebagai suatu kumpulan amat banyak fakta, masalah, dimensi, dan persepsi yang
kompleks (Ackerman, 1996).
Sebagai informasi dapatlah dikemukakan, bahwa di SLB C (tunagrahita) pada
umumnya sampai dengan kelas-kelas tinggi diterapkan pendekatan tematik. Selain
itu, dalam proses belajar-mengajar warga belajar pada pendidikan nonformal
Program Paket A, B, dan C umumnya diterapkan pendekatan tematik. Demikian pula,
di SMK untuk mata-mata pelajaran produktif sering diterapkan pendekatan terpadu
dalam proses belajar-mengajar.
6. Pendekatan Belajar
Aktif
Mengadopsi
Prinsip
Kerja
Otak
a. Prinsip
keberhasilan
Tiap individu dilahirkan untuk sukses, bukan untuk gagal.
Otak manusia tidak dirancang untuk melakukan trial and error, mencoba dan membuat kesalahan. Otak individu
adalah sebuah mekanisme trial and success
(coba dan berhasil).
Pengajaran tradisional cenderung menekankan disiplin
kaku. Kesalahan dan hukuman fisik membuat kegiatan belajar menakutkan dan
terasa sulit. Sebaliknya, pendekatan belajar aktif membuat kegiatan belajar menyenangkan.
Perubahan dari penekanan pada kesalahan ke penekanan pada keberhasilan membawa
implikasi terhadap pengembangan konsepsi pendekatan belajar aktif.
b. Prinsip
meniru
Meniru adalah salah satu cara terbaik untuk belajar.
Aktivitas meniru yang terbaik adalah menambahkan interpretasi sendiri kepada
hal yang ditiru. Dengan demikian, bisa timbul pengembangan dari meniru, lahir
sesuatu tambahan baru yang menunjukkan kreativitas.
c. Prinsip
sinergi
Otak kita itu sinergis, berkesinambungan. Gambaran: 1+1=2+
Dalam sistem ini, ”2+” bisa sama dengan 3, 5, 224, beberapa juta, atau tak
terbatas. Karena itu, otak manusia memiliki potensi yang tak terbatas.
Formula mentalnya adalah:
Semakin baik Anda melakukan X,
semakin lebih mudah jadinya untuk melakukan X. Jadi jika semakin baik Anda
mencipta, semakin mudah kreativitas muncul. Semakin baik Anda menulis,
semakin mudah Anda menulis di waktu mendatang.
|
Ketika individu membangun struktur berpikir sinergisnya,
dia akan bertambah unik, tak akan sama dengan siapa pun yang telah, kini, dan
akan hidup di bumi ini.
d. TEFCAS
Otak manusia bekerja berdasarkan prinsip TEFCAS, yang
akan dipakai individu sendiri sepanjang hayat.
Peserta didik harus didorong untuk berani mencoba, berani
mengambil risiko, dan tidak takut merasa gagal dalam beragam aktivitas
pendidikan, baik di sekolah, di keluarga, dan dalam komunitas tempat ia hidup.
e. Keuletan
Keuletan (tahan banting) adalah kecerdasan yang vital,
mesin belajar, pemikiran, dan kreativitas. Ia adalah huruf T (Trial) dalam TEFCAS.
Biografi tokoh-tokoh terkenal di berbagai bidang
mengungkapkan, keuletan adalah kemampuan untuk bangkit ketika jatuh, komitmen
yang tak dapat diganggu gugat untuk tetap berjuang mencapai tujuan tanpa peduli
rintangan, karakteristik tunggal yang membuat orang menjadi pemimpin yang
sukses.
f. Pemikiran radial
Otak bekerja seperti gelombang nuklir atau pancaran
cahaya dari bola lampu. Otak bekerja dengan cara multi-ordinasi radial
(berkaitan dengan banyak hal/ melakukan banyak asosiasi, menghubungkan satu hal
dengan berbagai hal, antarberbagai hal dan berkembang tak terbatas).
Prinsip berpikir radial, antara lain melalui aktivitas
berpikir menghubungkan satu benda dengan ribuan benda lain, satu objek dengan
ribuan objek yang lain, satu kata dengan ribuan kata yang lain, satu angka
dengan ribuan angka yang lain, satu gambar atau rupa dengan ribuan gambar atau
rupa yang lain, satu nada dengan nada-nada yang lain, dan satu citarasa dengan
ribuan citarasa yang lain akan mengembangkan daya kreativitas siapa saja secara
tak terbatas.
g. Otak sebagai mekanisme pencari kebenaran
Otak adalah mekanisme pencari kebenaran. Alasannya adalah
untuk mempertahankan kelangsungan hidup individu. Jika bayi atau individu tidak
tahu bahwa api bisa membakar, pisau bisa memotong jari, dan mobil bisa menabrak
orang, berkuranglah kesempatan untuk mempertahankan hidup.
Karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir semua tokoh
jenius terkenal memandang tujuan hidup mereka sebagai “pencari kebenaran” baik
dalam bidang ilmu, seni, filsafat, agama, teknologi. Tidak mengherankan jika
banyak tokoh pahlawan, tokoh berjasa, tokoh suci, pemimpin negara dan
masyarakat sering mengatakan, bahwa tujuan perjuangannya adalah mencari atau
menegakkan kebenaran.
7. Kreativitas sebagai Fokus
Pendekatan
Belajar
Aktif
Belajar aktif melibatkan penggunaan pancaindera. Makin
banyak indera yang digunakan makin efektif kegiatan belajar karena peserta
didik akan lebih mudah menangkap apa yang dipelajari.
Penggunaan lebih banyak indera saja tidaklah cukup. Baik
untuk memanfaatkan pancaindera maupun untuk melancarkan kinerja otak,
pendekatan belajar aktif mempersyaratkan gerakan. Karena itu, kebanyakan
kegiatan belajar aktif melibatkan tindakan (action)
peserta didik.
Gerakan yang berfungsi memperlancar kinerja otak
diwujudkan dalam bentuk tindakan atau action
dalam pendekatan belajar aktif.
Hasil-hasil riset tentang otak pada akhirnya sampai
kepada kesimpulan, bahwa kreativitas adalah entitas (ujud) yang mengkombinasikan
dan mensinergikan kinerja belahan otak kiri dan kanan otak manusia. Karena itu,
dalam penerapan pendekatan belajar aktif, kreativitas selalu menjadi fokus
aplikasi.
Keterangan:
Word smart : kecerdasan bahasa atau linguistik.
Picture smart : kecerdasan visual-spasial.
Body smart : kecerdasan kinestetik (menggerakkan tubuh).
Music smart : kecerdasan musik.
Logic smart : kecerdasan logika-matematika.
People smart : kecerdasan emosional berinteraksi atau bergaul dengan
orang lain.
Self smart : kecerdasan emosional berkomunikasi dengan diri sendiri
untuk melakukan refleksi dan introspeksi.
Nature smart : kecerdasan mengamati lingkungan alam dengan menggunakan
pancaindera.
Kreativitas mensinergikan fungsi dan aktivitas belahan
kiri dan kanan otak. Dalam praksis di sekolah, para guru dilatih dan didorong
agar menerapkan beragam aktivitas guna mengembangkan potensi kreatif peserta
didik. Kreativitas adalah fokus belajar aktif yang dilakukan melalui penciptaan
ruang bagi peserta didik untuk berkreasi. Kreativitas utamanya mengandaikan
tidak ada penilaian (judgment)
salah-benar dari guru karena kepada peserta didik diberi ruang kebebasan
berekspresi. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing peserta didik untuk
menemukan makna dan mengembangkan kompetensi.
Gambaran umum perbandingan pengajaran
konvensional dan belajar aktif
Perbandingan antara pengajaran konvensional (tradisional)
dan pengajaran yang berciri belajar aktif dikemukakan pada tabel berikut ini.
Pengajaran konvensional
|
Belajar aktif
|
Berpusat kepada guru (teacher-centred)
|
Berpusat kepada peserta didik (student-centred)
|
Kurikulum berbasis materi (konten,
pengetahuan)
|
Kurikulum berbasis kompetensi
|
Pengetahuan dangkal (surface knowledge)
|
Pengetahuan mendalam (deep knowledge)
|
Kegiatan belajar pasif, berpikir
linier, tak efektif, membosankan
|
Kegiatan belajar aktif, kreatif,
efektif, menyenangkan
|
Sumber belajar: guru dan buku
pelajaran
|
Sumber belajar bervariasi, termasuk
lingkungan
|
Pengorganisasian kelas: duduk
berbaris
|
Pengorganisasian kelas: bervariasi,
dan bisa diatur duduk berkelompok
|
Pajangan: gambar pahlawan, daftar
absensi, poster buatan pemerintah
|
Pajangan bervariasi, terutama hasil
pekerjaan peserta didik (2 dimensi, 3 dimensi)
|
Portofolio tak diterapkan
|
Portofolio diterapkan dan dipakai
untuk penilaian
|
Pengajaran untuk peserta didik kelas
dan jenjang yang sama (monograde
teaching)
|
Pengajaran untuk peserta didik
multikelas dan multijenjang (multigrade
teaching) dapat diterapkan
|
Struktur bab buku pelajaran: 90%
informasi + 10% soal latihan dan evaluasi. Ilustrasi amat kurang dan monoton.
|
Struktur bab buku pelajaran:
Informasi – kegiatan – informasi – kegiatan, dst. Banyak ilustrasi beragam.
|
Penilaian: dominansi tes tertulis,
terutama pilihan ganda dan esai
|
Penilaian: tes, penilaian karya
peserta didik 2 dan 3 dimensi, penilaian unjuk kerja (performance), penilaian perilaku
|
Umpan balik kepada peserta didik
jarang diberikan
|
Umpan balik kepada peserta didik
sering dilakukan
|
Ujian nasional: dominasi tes pilihan
ganda
|
Ujian nasional: tes pilihan ganda,
esai, data-pertanyaan, ujian praktik
|
Pola mengajar tradisional
|
Pola belajar aktif
|
l
l
l
l
l
l
|
l
l
l
l
l
|
l
l
l
l
l
l
|
l
l
l
l
l
l
|
E. Unsur-Unsur Belajar Aktif
Hal penting dalam
pelaksanaan belajar aktif adalah peserta didik dibimbing untuk mengalami
(mendapatkan pengalaman melalui observasi (pengamatan dengan pancaindera) dan
berbuat atau melakukan sambil berdialog dengan diri sendiri (refleksi) dan
dengan orang lain (melalui interaksi yang mencakup komunikasi). Karena itu,
komponen belajar aktif yang saling berkaitan adalah observasi, berbuat,
interaksi dan komunikasi.
Berdasarkan komponen-komponen ini prinsip-prinsip belajar
aktif diterapkan. Dalam penerapan konkret dalam proses pendidikan dan
pengajaran, prinsip-prinsip disertai komponen-komponen belajar aktif melahirkan
unsur-unsur pendekatan belajar aktif.
Ruang lingkup unsur-unsur pendekatan belajar aktif
ditunjukkan pada gambar berikut ini.
1. Dari Pendekatan Berpusat
pada Guru
ke Berpusat
pada Peserta
Didik
Orientasi utama pendekatan belajar aktif adalah
mengalihkan pola belajar guru yang berpusat pada guru (teacher-centred approach) ke pola belajar yang berpusat pada
peserta didik (student-centred approach).
2. Keterampilan Berpikir (thinking
skills)
Sejak Benjamin Bloom memperkenalkan taksonomi domain
kognitif dan afektif pada pertengahan tahun 1960-an, dunia pendidikan cenderung
terpaku kepada pola pengembangan kurikulum, pelaksanaannya dalam proses
belajar-mengajar, dan penilaian yang amat behavioristik. Banyak ahli berusaha
memperbaiki tingkatan keterampilan berpikir Bloom.
Dewasa ini, tingkatan keterampilan berpikir sudah diramu
ke tingkatan keterampilan berpikir kompleks. Salah satu acuan yang sering
diikuti adalah Matriks Gubbin. Keterampilan berpikir tingkat kompleks adalah
jenis pemahaman yang memerlukan berpikir mendasar (basic thinking) dan mempunyai ciri-ciri: menuntut berbagai
kemungkinan jawaban, penilaian dari orang yang berpartisipasi, dan
penempatan makna pada suatu situasi. Jenis berpikir kompleks termasuk berpikir
kritis, berpikir kreatif, dan memecahkan masalah.
Cara belajar pasif tak akan mampu mendorong dan membina
peserta didik sampai mencapai keterampilan berpikir kompleks. Salah satu
pilihan agar peserta didik mampu mengembangkan keterampilan berpikir kompleks
adalah menerapkan belajar aktif. Matriks berikut ini menjelaskan pernyataan
tersebut.
Hanya dapat dicapai melalui belajar
pasif dan belajar aktif
|
Hanya dapat dicapai melalui belajar
aktif
|
|||
Berpikir kreatif
|
||||
Memecahkan masalah
|
· Membuat daftar atribut objek/situasi
· Menghasilkan gagasan yang beragam
(kelancaran)
· Menghasilkan gagasan yang berbeda
(fleksibilitas)
· Menghasilkan gagasan yang unik
(orisinal)
· Menghasilkan gagasan yang rinci
· Mensintesis laporan
|
|||
Berpikir evaluatif
|
· Mengidentifikasi problem umum
· Mengklarifikasi problem
· Merumuskan pertanyaan yang tepat
· Merumuskan alternatif pemecahan
masalah
· Memilih solusi yang terbaik
· Menerapkan solusi
· Memonitor penerimaan solusi
· Menarik kesimpulan
|
|||
Berpikir deduktif
|
·
Membedakan
fakta dan opini
·
Menilai
kredibilitas sumber
·
Mengamati dan
menilai laporan observasi
·
Mengidentifikasi
isu dan problem utama
·
Memahami
asumsi yang mendasari
·
Mendeteksi
bias, stereotipi dan klise
·
Mengenal
bahasa yang terlalu berlebihan
·
Menilai
hipotesis
·
Mengklasifikasi
data
·
Memprediksi
konsekuensi
·
Mendemonstrasi
urutan sintesis informasi
·
Merencanakan
alternatif strategi
·
Mengenal
ketidak-ajekan informasi
·
Mengidentifikasi
alasan yang dikemukan dan yang tidak
·
Membandingkan
persamaan dan perbedaan
·
Menilai
argumen
|
|||
Berpikir induktif
|
·
Menggunakan
logika
·
Menemukan
pernyataan yang bertentangan
·
Menganalisis
silogisme
·
Memecahkan
problem spasial (ruang)
|
|||
· Menentukan sebab dan akibat
· Menganalisis masalah terbuka
· Menggunakan alasan dengan
analogi
· Membuat kesimpulan sementara
(inferensi)
· Menentukan informasi yang relevan
· Memahami hubungan-hubungan
· Memecahkan problem yang dihayati (“insight”)
|
Diadaptasi dari Gubbin’s Matrix of Thinking Skills. Matriks Gubbin
mengkompilasi dan menyaring gagasan-gagasan dari Bloom, Bransford Bruner,
Carpenter, Dewey, Ennis, Feuerstein, Jones, Kurfman, Kurfman & Salomon,
Lipman, Orlandi, Parners, Paul, Perkins, Ranzulli, Stemberg, Suchman, Taba,
Torrence, Upton, The Ross Test, the Whimbey Analytical Skills Test, The Cornell
Critical thinking Test, the Cognitive Abilities Test, the Watson-Glasser
Critical Thinking Appraisal, the New Jersey Test of Reasoning Skills dan the
SEA Test (Sumber: home.ched.coventry.ac.uk)
3. Penggunaan Beragam
Sumber
Belajar
Komponen lain pendekatan ini adalah peralihan dari
penggunaan guru sebagai sumber belajar utama dan buku teks sebagai sumber
belajar dominan ke arah penggunaan aneka-ragam sumber belajar. Gambar berikut
ini penjelasan yang dimaksud!
4. Pengorganisasian Kelas
Komponen lain pendekatan belajar aktif adalah peralihan
dari pengorganisasian kelas berbentuk berbaris ke desain yang lebih fleksibel,
guna:
· memberi peluang
lebih besar kepada peserta didik dan guru untuk lebih banyak berinteraksi dan
berkomunikasi;
· memudahkan
mobilitas guru untuk membantu peserta didik/kelompok yang mengalami kesulitan
dan memberikan umpan balik kepada peserta didik;
· memudahkan
mobilitas peserta didik untuk saling berinteraksi dan memungkinkan peserta
didik belajar juga sambil berdiri, bergerak, dan berjalan;
· membuka peluang
kepada peserta didik mengkakses sumber belajar berupa pajangan karya peserta
didik, buku, referensi, dan sumber belajar lainnya; dan
· memudahkan
pergantian anggota kelompok.
Berikut disajikan tata letak desain kelas tradisional,
kelas belajar aktif, dan kelas berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK). Coba bandingkan!
Dalam proses belajar meja dan kursi diatur dalam beragam
variasi, terutama duduk secara berkelompok, namun yang dilakukan adalah variasi
kegiatan belajar individual, pasangan, kelompok, dan seluruh kelas. Menurut
survei (Lihat Bill Lucas, 2007), jawaban terhadap pertanyaan “cara mana yang
paling Anda suka untuk belajar?” dapat dilihat berikut ini.
Pilihan belajar
|
Persentase
|
Dengan melakukan hal-hal praktis
Sendiri/belajar mandiri
Bersama-sama dalam sebuah kelompok
dan dengan menerima instruksi
Bertukar informasi dengan sesama
Mempraktikkan sendiri
Melihat demonstrasi
Berpikir sendiri
Les privat
Aktivitas kelompok yang difasilitasi
|
45%
45%
33%
32%
27%
24%
22%
21%
20%
|
(Sumber: Campaign
for Learning, Attitudes to Leaning, jajak pendapat MORI, 1998)
Di samping itu, data menunjukkan pula bahwa terbanyak
orang cenderung lebih senang belajar dengan melakukan hal-hal praktis dan
cenderung lebih senang belajar sendiri daripada bersama-sama dalam kelompok.
Namun, cukup banyak orang juga yang senang belajar bersama orang lain dalam
kelompok. Dengan demikian, dalam aktivitas belajar di satuan pendidikan guru
hendaknya tidak hanya menugaskan peserta didik bekerja secara individual tetapi
juga perlu divariasikan dengan kegiatan belajar kelompok.
5. Pajangan Hasil
Kerja
Peserta
Didik
Hasil kerja peserta didik hendaknya dipajang di dalam dan
di luar kelas guna memotivasi peserta didik untuk belajar. Selain itu, pajangan
berfungsi pula sebagai sumber belajar.
Pendekatan belajar aktif secara langsung dan tak langsung
memupuk semangat kewirausahaan peserta didik sebagai bekal baginya untuk
berwirausaha tatkala dewasa. Ditinjau dari aspek kewirausahaan, sebuah karya
peserta didik dapat memiliki 3 nilai yang dapat dicapai, yaitu:
a.
Nilai kapital,
maksudnya nilai sebuah karya akan semakin tinggi jika karya itu “laku dijual”.
b.
Nilai sosial,
maksudnya suatu karya dapat menginpirasi atau mengubah perilaku orang lain.
c.
Nilai artistik,
maksudnya suatu karya mendapatkan apresiasi atau penghargaan dari orang
lain. Nilai artistik ini dapat dikaitkan dengan nilai kapital. Sebuah
karya dengan nilai artistik yang tinggi akan memiliki nilai kapital yang tinggi
pula.
6.
Penanganan Perbedaan Individual
Dalam proses belajar-mengajar yang berciri
belajar aktif, guru hendaknya mengenal perbedaan individual peserta didik dan
memberikan perlakuan belajar sesuai dengan ciri individual peserta didik
tersebut. Tiap peserta didik memiliki bakat yang berbeda, menunjukkan kemampuan
dominan dalam kecerdasan yang berbeda, menunjukkan minat yang berbeda, dan
mengalami kesulitan belajar yang berbeda. Dalam proses belajar-mengajar guru
hendaknya memperhatikan dan memberikan perlakuan yang sesuai dengan ciri
individu yang berbeda
F. Indikator Sekolah dan Kelas yang
Melaksanakan Belajar Aktif
Kriteria penerapan belajar aktif dikemukakan dalam bentuk
indikator proses belajar. Indikator dirumuskan agar dapat digunakan sebagai
pedoman observasi baik di tingkat sekolah maupun pada proses belajar di tingkat
kelas.
1.
Indikator Sekolah yang Melaksanakan
Belajar Aktif
Indikator (tanda-tanda) terjadinya proses belajar yang
aktif dan kreatif pada setting
sekolah, ditinjau dari aspek sumber daya manusia, ekspektasi/harapan sekolah,
tata tertib, fokus kurikulum, kegiatan sekolah, lingkungan, fasilitas, nilai
dan norma, serta kreativitas dan inovasi, adalah sebagai berikut:
- Ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi
1)
Prestasi
belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada ”memahami”.
2)
Sekolah
menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
3)
Sekolah
ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, pot bunga, tempat sampah).
4)
Lebih
baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai
artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
5)
Lebih
baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu, misalnya
sekali dalam satu tahun.
6)
Karya
peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
7)
Kehidupan
sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
8)
Sekolah
rapi, bersih, dan teratur.
9)
Komunitas
sekolah santun, disiplin, dan ramah.
10) Animo
masuk ke sekolah itu makin meningkat.
11)
Sekolah
menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
12)
Ada forum
penyaluran keluhan peserta didik.
13)
Iklim sekolah
lebih demokratis.
14)
Diselenggarakan
lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan menengah ada
lomba karya ilmiah peserta didik.
15)
Ada program
kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
16)
Kegiatan
belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik secara
aktif.
17)
Peserta didik
mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah (misalnya,
nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
18)
Ada program
pelatihan internal guru (inhouse training)
secara rutin.
19)
Ada forum
diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga
kependidikan lainnya secara rutin.
20)
Ada program
tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai pihak yang
terkait (stakeholders).
- Sumber daya manusia
1)
Kepala sekolah
peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran dari peserta
didik maupun guru.
2)
Kepala sekolah
terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru dan orang
tua/komite sekolah.
3)
Guru
berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
4)
Guru
mengenal baik nama-nama peserta didik.
5)
Guru
terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
6)
Sikap
guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan fisik
dan verbal kepada peserta didik.
7)
Guru
selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan mengembangkan
kegiatan belajar.
8)
Guru
menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
9)
Peserta
didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang belajar di
luar kelas.
10)
Peserta didik
berani bertanya kepada guru.
11)
Peserta didik
berani dalam mengemukakan pendapat.
12)
Peserta didik
tidak takut berkomunikasi dengan guru.
13)
Para peserta
didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan, dan
agama.
14)
Peserta didik
tidak takut kepada kepala sekolah.
15)
Peserta didik
senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut ingin membaca
buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
16)
Potensi peserta
didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih mudah terdeteksi.
17)
Ekspresi
peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
18)
Peserta didik
sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
19)
Perhatian
peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke sekolah.
- Lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar
1)
Sumber belajar
di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
2)
Terdapat
majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala diganti dengan
karya peserta didik yang baru.
3)
Di ruang kepala
sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
4)
Tidak ada alat
peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang lainnya hingga
berdebu.
5)
Buku-buku tidak
ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
6)
Frekuensi
kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk membaca/meminjam
buku cukup tinggi.
7)
Di setiap kelas
ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
8)
Ada sarana
belajar yang bervariasi.
9)
Digunakan
beragam sumber belajar.
- Proses belajar-mengajar dan penilaian
1)
Pada taraf
tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar
antarmata pelajaran yang relevan.
2)
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar-mengajar.
3)
Dalam
menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai
dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk
kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan
dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila
tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang
dinilah. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik proses
pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun produk
yang dihasilkan.
4)
Tidak ada
ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada tengah
semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah mengenali
kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan atau
pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
5)
Model rapor
memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang sudah
dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang
dibutuhkan peserta didik.
6)
Guru melakukan
penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini dilakukan untuk menemukan
kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan peserta didik
dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan apakah peserta didik
perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
7)
Menggunakan
penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta didik tidak
dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan dibandingkan
dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah belajar.
8)
Penentuan
kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan untuk
mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian,
sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam
kompetensi tertentu.
2.
Indikator Kelas yang Melaksanakan Belajar
Aktif
Indikator (tanda-tanda) terjadinya proses
belajar-mengajar yang aktif dan kreatif pada setting kelas ditinjau dari kerja kelompok, teknik bertanya, cara
menilai, penggunaan sumber belajar, dan pajangan yang dapat digunakan sebagai
pedoman observasi proses belajar-mengajar dikemukakan berikut ini.
a. Kerja
kelompok
1)
Semua peserta
didik aktif dan mendapatkan kesempatan yang sama.
2)
Waktu yang
diberikan untuk suatu kegiatan peserta didik cukup.
3)
Peserta didik
tampak disiplin dalam melaksanakan tugas.
4)
Adanya
instruksi tugas yang jelas dan mudah dipahami oleh peserta didik.
5)
Jumlah
peserta didik perkelompok tidak lebih dari 6 orang.
6)
Adanya
target waktu penyelesaian suatu tugas dari guru.
7)
Tersedia
alat dan bahan yang cukup dalam melaksanakan kegiatan belajar.
8)
Tampak kegiatan
eksplorasi jika dituntut kompetensi yang sedang dikembangkan yang difasilitasi
guru.
9)
Adanya
umpan balik antarpeserta didik dalam kelompok, antarkelompok, dan antara
guru-kelompok/seluruh kelas.
10)
Peserta
didik berani mengemukakan pendapat.
11)
Terjadi
saling menghargai dalam kelompok dan antarkelompok.
12)
Adanya
penugasan yang jelas yang dilakukan melalui kegiatan individual, pasangan,
kelompok, dan/atau seluruh kelas.
13)
Tampak
ada diskusi dan interaksi dalam kelompok untuk membuat kesimpulan kerja
kelompok dan penguatan berupa penyimpulan seluruh kelas.
14)
Peserta didik
diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri tanpa harus diberitahu lebih dulu
oleh guru.
b.
Kegiatan belajar
1)
Kegiatan
belajar suatu kompetensi dikaitkan dengan kompetensi lain pada suatu mata
pelajaran atau mata pelajaran lain.
2)
Kegiatan
belajar menarik minat peserta didik.
3)
Kegiatan
belajar terasa menggairahkan peserta didik.
4)
Semua peserta
didik terlibat secara aktif dalam kegiatan belajar.
5)
Mendorong
peserta didik berpikir secara aktif dan kreatif.
6)
Saling
menghargai pendapat dan hasil kerja (karya) teman.
7)
Mendorong
rasa ingin tahu peserta didik untuk bertanya.
8)
Mendorong
peserta didik melakukan eksplorasi (penjelajahan).
9)
Mendorong
peserta didik mengekspresi gagasan dan perasaan secara lisan, tertulis, dalam
bentuk gambar, produk 3 dimensi, gerak, tarian, dan / atau permainan.
10)
Mendorong peserta
didik agar tidak takut berbuat kesalahan.
11)
Menciptakan
suasana senang dalam melakukan kegiatan belajar.
12)
Mendorong
peserta didik melakukan variasi kegiatan individual (mandiri), pasangan,
kelompok, dan / atau seluruh kelas.
13)
Mendorong
peserta didik bekerja sama guna mengembangkan keterampilan sosial.
14)
Kegiatan
belajar banyak melibatkan berbagai indera.
15)
Menggunakan
alat, bahan, atau sarana bila dituntut oleh kegiatan belajar.
16)
Melibatkan
kegiatan melakukan, seperti melakukan observasi, percobaan, penyelidikan,
permainan peran, permainan (game).
17)
Mendorong
peserta didik melalui penghargaan, pujian, pemberian semangat.
18)
Hasil kerja
(karya) peserta didik dipajangkan.
19)
Menerapkan
teknik bertanya guna mendorong peserta didik berpikir dan melakukan kegiatan.
20)
Mendorong
peserta didik mencari informasi, data, dan mencari jawaban atas pertanyaan.
21)
Mendorong
peserta didik menemukan sendiri.
22)
Peserta didik pada
umumnya berani bertanya secara kritis.
c.
Teknik bertanya dan penilaian proses
1)
Dalam proses
belajar-mengajar, guru lebih menekankan pertanyaan terbuka daripada pertanyaaan
tertutup, seperti pertanyaan mengapa,
bagaimana, apa pendapatmu, apa yang terjadi bila….
2)
Setiap peserta
didik diberi kesempatan lebih dahulu untuk mencoba menjawab pertanyaaan
temannya.
3)
Peserta didik
berani mengemukakan pendapat dan menjawab pertanyaan temannya.
4)
Semua peserta
didik diberi kesempatan yang cukup untuk mengemukakan pendapat dan bertanya.
5)
Menggunakan
cara penilaian yang bervariasi, seperti tertulis, lisan, produk, portofolio,
unjuk kerja, proyek, dan pengamatan partisipasi peserta didik dalam proses
belajar-mengajar sehari-hari sesuai dengan karakteristik materi atau kompetensi
yang dinilai.
6)
Menghindari
penilaian tertulis dengan bentuk pilihan ganda, terutama pada ulangan harian
dan ulangan tengah semester. Sebaik apa pun tes bentuk pilihan ganda
tidak akan mampu menilai seluruh kompetensi peserta didik pada suatu mata
pelajaran.
7) Guru memberikan
tugas-tugas penilaian yang bermakna, terkait langsung dengan kehidupan nyata
peserta didik, seperti menulis surat, menulis laporan hasil kegiatan/pengalaman,
melakukan percobaan, memperkenalkan orang lain, menendang bola, memainkan alat
musik, menjernihkan air, membaca puisi, dan berkomunikasi dengan telepon.
8)
Cara menilai
disesuaikan dengan kompetensi yang dituju.
9) Guru memberi
umpan balik atau catatan bagi setiap tugas yang diberikan.
10) Guru membawa
format pengamatan ketika memasuki kelas.
11) Remedial
diberikan bagi masing-masing peserta didik sesuai dengan kebutuhan peserta
didik yang terlihat dari indikator yang belum tuntas.
12) Dimensi sikap
dinilai dengan berbagai cara, seperti observasi perilaku, pertanyaan
langsung, dan laporan pribadi. Observasi perilaku dapat menggunakan buku
catatan khusus atau catatan harian tentang kejadian-kejadian yang berkaitan
dengan peserta didik selama di sekolah.
13) Membuat catatan
tentang perubahan perilaku atau sikap peserta didik secara keseluruhan, baik
yang berkaitan dengan mata pelajaran tertentu maupun program pengembangan diri.
14) Membuat rubrik
penyekoran.
d.
Penggunaan beragam sumber belajar
1)
Menggunakan
lingkungan sekolah sebagai sumber belajar.
2)
Menggunakan
pengalaman peserta didik sebagai sumber belajar.
3)
Menggunakan
sumber belajar dari lingkungan sosial (masyarakat seperti keluarga,
tetangga, toko, pasar, kantor, dan panti asuhan).
4)
Menggunakan
sumber belajar dari lingkungan budaya, seperti lagu daerah, pakaian daerah,
tarian daerah, dan bangunan bersejarah).
5)
Menggunakan
sumber belajar dari media cetak seperti koran, majalah, dan leaflet.
6)
Menggunakan
sumber belajar dari media elektronik seperti acara radio, TV, video, dan/atau
internet.
e.
Pajangan
1)
Pajangan
cukup “ramai” dalam kelas.
2)
Ada portofolio
peserta didik dalam kelas.
3)
Ada hasil
kerja peserta didik yang dipajangkan (bukan sekadar isian lembar kerja peserta
didik, atau jawaban soal evaluasi).
4)
Pajangan
ditata rapi dan dapat dibaca peserta didik karena dipajang tak terlalu tinggi.
5)
Ada pajangan
karya peserta didik secara individual.
6)
Hasil
karya peserta didik memiliki nilai artistik.
G. Contoh-Contoh Pelaksanaan
Belajar Aktif
1.
Contoh-contoh Pelaksanaan Belajar Aktif
Berikut ini dikemukakan daftar contoh kegiatan yang membuat peserta didik
aktif.
2.
Pengembangan Karakter Bangsa sebagai Tujuan
Jangka Panjang
Upaya menggalakkan penerapan belajar aktif ini dilandasi
aspirasi jangka panjang untuk mengembangkan karakter bangsa yang
mengarusutamakan nilai budaya dan kewirausahaan. Kebijakan ini dipilih karena
bangsa yang unggul dalam persaingan global adalah bangsa yang memiliki sumber
daya manusia yang berkarakter bangsa, yang dibangun di atas fondasi nilai-nilai
budaya dan berorientasi ke masa depan melalui penanaman jiwa dan semangat
kewirausahaan.
Nilai-nilai pengembangan karakter bangsa yang
mengarusutamakan nilai budaya dan kewirausahaan dikemukakan pada daftar berikut
ini.
Ciri-ciri potensial individu yang menunjukkan profil
seorang wirausahawan dikemukakan berikut ini.
http://yudithea.blogspot.com/2011
0 komentar:
Posting Komentar