Jumat, 21 Juni 2013
- SilabusTIKBerkarakterSMPKelasVIIIsms1.doc - 68 KB Klik di sini
- SilabusTIKBerkarakterSMPKelasVIIIsms2.doc - 74 KB Klik di sini
- rpptiksmpVIIIsms1.docx - 45 KB Klik di sini
- rpptiksmpVIIIsms2.docx - 44 KB Klik di sini
- SilabusTIKBerkarakterSMPKelasVIIIsms2.doc - 74 KB Klik di sini
- rpptiksmpVIIIsms1.docx - 45 KB Klik di sini
- rpptiksmpVIIIsms2.docx - 44 KB Klik di sini
Kamis, 20 Juni 2013
-SilabusIPSBerkarakterSMPKelasIXsms1 doc-112 KB Klik di sini
-SilabusIPSBerkarakterSMPKelasIXsms2.doc - 116 KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasIXsms1.doc - 294 KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasIXsms2.doc - 250 KB Klik di sini
-SilabusIPSBerkarakterSMPKelasIXsms2.doc - 116 KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasIXsms1.doc - 294 KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasIXsms2.doc - 250 KB Klik di sini
-SilabusIPSBwekarakterSMPKelas VIIIsms1 doc-132KB Klik di sini
-SilabusIPSBerkarakterSMPKelasVIIIsms2doc-107KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasVIIIsms1doc-357 KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasVIIIsms2 doc-188 KB Klik di sini
-SilabusIPSBerkarakterSMPKelasVIIIsms2doc-107KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasVIIIsms1doc-357 KB Klik di sini
-RPPIPSBerkarakterSMPKelasVIIIsms2 doc-188 KB Klik di sini
Rabu, 12 Juni 2013
SASIRANGAN:
Kain Khas Kalimantan Selatan
Oleh : Sarkani
Indonesia
memiliki keragaman dan keunikan yang tiada duanya. Hal tersebut tertuang dalam
karya yang sudah diakui oleh masyarakat luas. Diantaranya bahkan sudah diakui
dunia Internasional sebagai warisan budaya atau World Heritage. Salah satunya
adalah karya budaya yang penuh dengan nilai artistik yakni Batik.
Selama
ini batik memang sangat lekat dengan budaya suku Jawa. Padahal di Indonesia
sendiri kain batik tidak hanya berasal dari tanah Jawa. Masing-masing memiliki
keunikan dan keindahan serta ciri tersendiri. Salah satunya adalah batik
sasirangan yang berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Berbeda dengan
batik Jawa yang motifnya terbagi-bagi berdasarkan kelas sosial si pemakai.
Sejak dahulu batik sasirangan ini dipakai oleh beragam golongan dan kelas
sosial masyarakat Banjarmasin.
Secara etimologis
istilah Sasirangan bukanlah kata benda sebagaimana yang dikesankan oleh
pengertian di atas, tapi adalah kata kerja. "Sa" artinya satu dan "sirang"
artinya jelujur. Ini berarti "sasirangan" artinya dibuat menjadi satu
jelujur. Kain
sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak
warna-warm berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas
(vertikal). Kain
sasirangan memang identik dengan kain yang diberi gambar dengan corak
warna-warna berbentuk garis-garis jelujur yang memanjang dari bawah ke atas
(vertikal). Sungguhpun demikian, istilah sasirangan sudah disepakati secara
social budaya (arbitrer) kepada benda berbentuk kain (kata benda).
Kata Sasirangan berasal dari kata menyirang yang berarti
menjelujur yang berkaitan dengan cara pembuatan batik tersebut. Batik
Sasirangan adalah kain adat suku Banjar Kalimantan Selatan yang dibuat dengan
teknik tusuk jelujur, diikat benang, gelang karet atau tali rafia, dan
kemudian dicelup kedalam air hangat yang diberi pewarna. Pewarna yang digunakan
sebagian dari bahan pewarna alam, seprti kulit kayu ulin, jahe, air kulit
pisang dan daun pandan.
Secara historis Sasirangan, yang antara lain juga dimuat dalam Hikayat
Banjar, sekitar abad XII sampai abad ke XIV, kain Sasirangan yang pertama
adalah dibuat pada masa kerajaan Negara Dipa yang kala itu disebut dengan kain
Langgundi, yaitu kain tenun yang berwarna kuning. Kala itu, kain Langgundi
merupakan kain yang digunakan sebagai bahan untuk membuat pakaian harian
seluruh warga kerajaan Negara Dipa.
Kain Sasirangan waktu itu boleh dikatakan
berfungsi sama dengan zaman sekarang, di mana setiap warga Kerajaan bebas dan
berhak untuk memakainya. Sampai pada suatu saat, Patih Lambung Mangkurat sedang
bertapa menggunakan lanting untuk mencari seorang raja bagi pemerintahan
kerajaan Negara Dipa sesuai dengan wasiat ayahnya, Empu Jatmika yang tidak
memperbolehkan diri dan keturunannya untuk menjadi raja lantara mereka bukan
berasal dari tutus raja. Ketika sedang bertapa, Patih Lambung Mangkurat
mendengar suara perempuan yang menanyakan maksudnya dan diapun menjelaskan
maksud pertapaannya tersebut adalah untuk mencari seorang raja di kerajaanya.
Suara perempuan itupun mengatakan bahwa raja yang sedang dicari oleh Patih
Lambung Mangkurat itu adalah dirinya, namun perempuan itu mengatakan dia hanya
akan menampkkan diri jika Patih Lambung Mangkurat memenuhi permintaannya.
Perempuan itu meminta Patih Lambung Mangkurat untuk membuatkannya sebuah istana
yang megah yang dibangun oleh 40 orang perjaka dan sehelai kain Langgundi yang
ditenun oleh 40 orang perawan, yang keduanya itu harus selesai dalam waktu satu
hari. Sang Patih pun menyetujuinya dan langsung melaksanakannya.
Setelah
permintaan dipenuhi, perempuan itu menampakkan diri keluar dari dalam air
dengan cantiknya berpakaian kain Langgundi. Perempuan itu disebut oleh warga
kerajaan Negara Dipa dengan sebutan Putri Junjung Buih, karena muncul dari
dalam air yang beriak/berbuih. Adapun kain yang dipakainya disebut Kain Calapan
yang kemudian dikenal dengan nama Kain Sasirangan.
Konon, sejak
peristiwa itu warga kerajaan Negara Dipa tidak berani lagi menggunakan kain
Langgundi/Sasirangan karena takut kuwalat terhadap Putri Junjung Buih.
Hal ini mengakibatkan banyak pengrajin kain Langgundi yang tidak lagi
memproduksi kain tersebut. Sungguhpun demikian, tidak semuanya berhenti membuat
kain sasirangan. Masih ada beberapa pengrajin yang tetap membuatnya, namun
tidak lagi dijadikan sebagai pakaian sehari-hari melainkan untuk pengobatan
bagi penyakit yang bersifat magis. Jika dilihat dari legenda ini, ternyata
asal-usul kain sasirangan tidaklah sakral dan berbau magis. Artinya, ia
bersifat profan dan tidak mengenal pantangan atau hal-hal sejenisnya.
Kenapa kemudian
sasirangan menjadi sakral? Tampak dari legenda yang ada bahwa keyakinan itu
dibuat-buat dan dihubung-hubungkan dengan dunia leluhur. Padahal, jika
dibiarkan sebagaimana asal-usulnya, tidaklah ada bukti yang menampik
profanitasnya. Akibatnya kemudian justru fatal, ketika kepercayaan terhadap
kain sasirangan menjadi semacam itu, maka produksi kain pada skala lokal
menjadi menurun drastis dan sesuatu yang tidak rasional (magis) menjadi rasional
lantaran fakta-fakta sembuhnya pasien penyakit kulit setelah memakai kain
sasirangan terkumpul dan mengalahkan fakta-fakta ketidaksembuhannya. Tampaknya
itu saja, dan tidak lebih dari itu.
Memang, menurut
keyakinan umum masyarakat Banjar tempo dulu, banyak penyakit yang disebabkan
oleh gangguan makhluk halus. Kain Langgundi/Sasirangan pun merupakan suatu
media untuk penyembuhannya. Biasanya penyakit yang dapat disembuhkan olehnya
adalah penyakit pingitan, yang secara tradisional dipahami sebagai penyakit
yang berasal dari ulah para leluhur yang tinggal di alam roh. Dalam kurun waktu
tertentu akan ada anak, cucu, buyut, intah, ataupun yang lain akan terkena
penyakit pingitan ini dan untuk penyembuhannya mereka harus mengenakan kain
Langgundi. Sebagai media penyembuhan, kain Langgundi bisa digunakan sebagai
sarung, kemben, selendang, atau juga ikat kepala yang disebut laung bagi pria.
Fungsi Sasirangan, Pada zaman Kerajaan Banjar, batik Sasirangan
digunakan sebagai ikat kepala atau “laung”, ikat pinggang untuk kaum lelaki dan
selendang atau kemben untuk kaum perempuan. Bahkan kain Sasirangan dahulu kala
juga dipakai untuk upacara adat dan alat penyembuhan orang sakit. Ketika masih bernama kain langgundi, kain sasirangan difungsikan
sebagai kain untuk busana semua lapisan masyarakat di Kerajaan Negara Dipa,
bahkan mungkin sejak zaman keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebelum ditaklukkan
oleh Empu Jatmika pada tahun 1355. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika
itu (sebelum tahun 1355) merujuk kepada fungsi umum sebagai sarana untuk
memenuhi kebutuhan jasmani seluruh warga negara.
Setelah Putri Junjung Buih, kemudian Pangeran Surianata, dan anak,
cucu, buyut, intah, piat keturunannya berkuasa di Kerajaan Negara Dipa, kain
langgundi hanya boleh dikenakan sebagai busana kebesaran para bangsawan
kerajaaan. Rakyat jelata tidak berani mengenakannya sebagai busana harian
karena, takut terkena tulah. Ini berarti fungsi kain sasirangan ketika, itu
(sesudah tahun 1335) merujuk kepada fungsi khusus sebagai sarana untuk memenuhi
kebutuhan jasmani bagi para bangsawan kerajaan saja.
Fauzi (1993), memperkirakan sejak abad ke 14-15 kain sasirangan
berubah menjadi kain yang dikeramatkan dan kain Pamintaan, yakni kain yang
hanya dibuat berdasarkan permintaan anak, cucu, buyut, intah piat para
bangsawan pengidap penyakit pingitan. Konon, diyakini tidak ada obat lain yang
mujarab bagi para pengidap penyakit pingitan ini selain dari pada mengenakan
kain sasirangan di kepala (ikat kepala, selendang), di perut (bebat), atau
bahkan menjadikannya sebagai selimut fidur (sarong).
Motif Sasirangan, Corak dan warna kain
Langgundi sangatlah beragam, karena setiap jenis penyakit pingitan memerlukan
corak dan warna kain Langgundi tertentu juga. Inilah kiranya asal-usul motif
sasirangan, dan konon sejak digunakan menjadi media pengobatan itulah maka kain
Langgundi lebih dikenal dengan sebutan kain Sasirangan yang semakin kaya dengan
motif-motifnya. Sasirangan setidaknya mengenal 19 motif, di antaranya
sarigading, ombak sinapur karang (ombak
menerjang batu
karang), hiris pudak (irisan daun pudak), bayam raja (daun bayam), kambang
kacang (bunga kacang panjang), naga balimbur (ular naga), daun jeruju
(daun tanaman jeruju), bintang bahambur (bintang bertaburan di langit), dan
kulat karikit (jamur kecil). Ada juga motif gigi haruan (gigi ikan gabus),
turun dayang(garis-garis), kangkung kaombakan (daun kangkung),
jajumputan(jumputan), kambang tampuk manggis (bunga buah manggis), dara
manginang (remaja makan daun sirih), putri manangis (putrid menangis), kambang
cengkeh (bunga cengkeh), awan beriring (awan sedang diterpa angin), dan
benawati (warna pelangi). Motif-motif tradisional itu kini dihidupkan kembali
dengan selera populer. Motif sarigading kini dibuat lebih halus dan bahkan telah
diberi hiasan garis emas (prada).
Warna
Sasirangan, Dahulu kala kain sasirangan diberi warna dengan zat pewarna
yang dibuat dari bahan-bahan yang bersifat alami, yakni dibuat dari biji, buah,
daun, kulit, atau umbi tanaman yang tumbuh liar di hutan atau sengaja ditanam
di sekitar tempat tinggal para pembuat kain sasirangan itu sendiri.
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni :
Ada 6 warna utama kain sasirangan yang dibuat dari zat pewarna alami dimaksud, yakni :
1. Kuning, bahan pembuatnya adalah kunyit atau temulawak
2. Merah, bahan pembuatnya adalah gambir, buah mengkudu, lombok
merah, atau kesumba (sonokeling, pen)
3. Hijau, bahan pembuatnya adalah daun
pudak atau jahe
4. Hitam, bahan pembuatnya adalah kabuau atau uar
5. Ungu, bahan pembuatnya adalah biji buah gandaria (bahasa
Banjar Ramania, pen)
6. Coklat, bahan pembuatnya adalah uar atau kulit buah rambutan
Supaya warnanya menjadi lebih tua, lebih muda, dan supaya
tahan lama (tidak mudah pudar), bahan pewarna di atas kemudian dicampur dengan
rempah-rempah lain seperti garam, jintan, lada, pala, cengkeh, jeruk nipis,
kapur, tawas, cuka, atau terusi.
Arti Warna, Warna utama dalam sasirangan bukan hanya sekedar warna
dengan tujuan memperindah dan mempercantik tampilan sasirangan itu sendiri,
namun di balik itu ada makna dan arti simbolik yang tersirat dari warna yang
dibuat.
Ada
beberapa arti warna dalam sasirangan itu, diantaranya adalah :
1. Kain sasirangan warna kuning merupakan tanda simbolik bahwa
pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit kuning (bahasa Banjar kana
wisa)
2. Kain sasirangan warna merah merupakan tanda simbolik bahwa
pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit kepala, dan sulit tidur
(imsonia)
3. Kain sasirangan warna hijau merupakan tanda simbolik bahwa
pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit lumpuh (stroke)
. Kain sasirangan warna hitam merupakan tanda simbolik bahwa
pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit demam dan kulit gatal-gatal
5. Kain sasirangan warna ungu merupakan tanda simbolik bahwa
pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit sakit perut (diare, disentri,
dan kolera)
6. Kain sasirangan warna coklat merupakan tanda simbolik bahwa
pemakainya sedang dalam proses mengobati penyakit tekanan jiwa (stress).
Sumber
:
Tajuddin Noor Ganie, M.Pd (http://ughieeborneo.blogspot.com)
http://underwearsasirangan.blogdetik.com
Langganan:
Postingan (Atom)