Jumat, 24 Desember 2010


Pembelajaran Konstektual dan Motivasi Siswa
Selama ini kita menyadari bahwa kelas-kelas kita tidak produktif. Sehari-hari kelas hanya diisi  dengan ceramah, sementara siswa dipaksa menerima dan menghafal materi pelajaran yang diberikan.
Dengan pendekatan kontekstual (CTL) yang mengutamakan strategi belajar daripada hasil, siswa  diharapkan belajar melalui ‘mengalami’ dengan mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya dan  menerapkan pada situasi dunia nyata siswa, dapat mengubah anggapan kelas yang kurang produktif  menjadi kelas yang aktif dengan pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning).
Proses pembelajaran di kelas menjadi aktif dan kreatif, karena siswa membangun sendiri  pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif di kelas, jadi siswa menjadi pusat kegiatan bukan  guru. Kegiatan inquiry dan bertanya merupakan salah satu strategi dalam model pembelajaran  kontekstual atau CTL  untuk menggali sifat ingin tahu siswa. Selain itu keberadaan masyarakat  belajar menjadi nilai plus dalam pembelajaran karena siswa tidak belajar sendiri tetapi saling  bekerja sama (belajar dengan kelompok-kelompok) agar pengetahuan dan  pemahaman lebih mendalam.
Sehingga menimbulkan kegairahan belajar siswa karena adanya kebersamaan dalam memecahkan masalah,  siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang lemah.
Kemudian adanya pemodelan sebagai contoh pembelajaran dapat meningkatkan semangat siswa untuk  mencoba meniru seperti apa yang telah dilihatnya, dengan demikian siswa tidak mengalami kesulitan  dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Dalam pendekatan kontekstual refleksi merupakan peranan  penting, yaitu siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru  yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Dengan begitu, siswa merasa  memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa yang baru saja dipelajarinya.
Yang terakhir, adanya authentic assessment untuk menilai kemampuan yang dimiliki siswa tidak  hanya dari hasil ulangan tetapi dari kegiatan yang dilakukan siswa selama proses pembelajaran di  kelas. Guru yang ingin mengetahui perkembangan belajar Bahasa Inggris bagi para siswanya harus  mengumpulkan data dari kegiatan nyata saat para siswa menggunakan Bahasa Inggris bukan pada saat  para siswa mengerjakan tes Bahasa Inggris. Jadi siswa semakin tertarik dengan pembelajaran model kontektual atau CTL karena mereka memperoleh nilai tambahan dari kegiatan pembelajarannya di  kelas yang dapat mempengaruhi nilai akhirnya.
Dengan demikian, hasil belajar siswa sebagai tolak ukur yang harus diuji kebenarannya. Untuk  hal ini hasil belajar siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran  kontektual atau CTL diperbandingkan dengan hasil belajar siswa yang menempuh proses belajar  mengajar dengan model pembelajaran konvensional. Hasil analisis data dalam penelitian ini  menunjukkan bahwa siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran model kontektual atau CTL hasil belajarnya berbeda secara signifikan dan lebih baik daripada siswa yang  menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran konvensional.
Perbedaan hasil belajar tersebut ditunjukkan oleh rata-rata hasil belajar, antara kelompok  siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran kontektual CTL dengan siswa  yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran konvensional. Seperti hasil  sebuah kajian bahwa hasil t-test sebesar 1,855 dan t tabel sebesar 1,69 menerima hipotesis  penelitian yang menyatakan siswa yang menempuh proses belajar mengajar dengan model pembelajaran  kontektual atau CTL hasil belajarnya lebih baik daripada siswa yang menempuh proses belajar  mengajar dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.
Dengan demikian tidak diragukan lagi oleh guru, bahwa model pembelajaran kontektual atau CTL  lebih baik dibandingkan dengan model pembelajaran tradisional. Maka dari itu, kiranya guru dapat  mengaplikasikan model ini dalam pembelajaran yang dilakukan guru. Guru pada dasarnya juga dapat  menguji dan meneliti bagaimana dampak model pembelajaran kontektual dapat memberikan hasil  maksimal bagi siswa, apakah itu benar ?, dan jangan guru terpancing dengan temuan-temuan  peneliti, dan guru juga harus dapat menguji dengan melalui penelitian tindak kelas atau action  research classroom.Kalau benar, maka tentunya guru akan menggunakan dalam pembelajarannya, dan  tentunya guru juga harus menularkan kepada guru-guru lainnya yang masih berkutat kepada model  pembelajaran tradisional. Semoga***

Posted by MYTULISAN On 17.07 No comments READ FULL POST
PARADIGMA BARU PEMBELAJARAN IPS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Semua negara di dunia sepakat bahwa dalam rangka peningkatan kualitas manusia harus bersumber dari pendidikan. Pendidikan menyumbang sangat besar terhadap mutu hidup manusia. Tentunya pendidikan yang bagaimana yang mampu memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas hidup manusia itu? Jawabannya adalah pendidikan yang berkualitas.
Diyakini bahwa pendidikan selain memberikan amunisi memasuki masa depan, ia juga memiliki hubungan dialektikal dengan transformasi social masyarakat (Departemen Agama, 2004:1). Pola pendidikan MTs di desain untuk transformasi system pengetahuan dan teknologi serta pengembangan dan pelestraian sosio-kultur masyarakat melalui pendidikan IPS.
Kerangka pemikiran di atas memberikan pengertian bahwa pendidikan di MTs dibangun guna melaksanakan amanah masyarakat untuk mengantarkan peserta didik pada jenjang kesempurnaan individu yang hakiki. Artinya individu yang selalu siap menghadapi tantangan hidup yang lebih kompleks serta diharapkan memiliki bekal yang luas dalam menghadapi masa depan yang langgeung, yakni akhirat kelak. Senada dengan ini dikemkakan Somantri ( 2001: 180) mengatakan bahwa aktualisasi pendidikan IPS ini akan lebih banyak menekankan langkah straegis jangka panjang yang aka melewati proses pendidikan yang cukup panjang dalam “laboratorium demokrasi” sebagai investasi sumber daya manusia (human investmen) agar mutu generasi muda semakin meningkat dalam upaya demokratisasi untuk memnghapai masa mendatang yang akan penuh dengan masalah dan tantangan.


Pendidikan yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya guru, siswa, sarana dan prasarana, lingkungan pendidikan dan kurikulum (Widoyoko, 2008). Faktor guru memegang peranan yang sangat penting karena guru merupakan garda paling depan yang secara langsung berhadapan dengan subjek didik. Subjek didik inilah yang menjadi fokus penentu berhasil tidaknya proses pendidikan. Maka dengan itu guru harus benar-benar menguasai berbagai kompetensi agar mutu lulusan dapat bersaing nanti setelah terjun di lingkungan masyarakat yang majemuk. Hal ini karena kita menyadari bahwa subjek didik (siswa) merupakan investasi terbesar bagi bangsa ini dalam menentukan nasib bangsa ke depan
lingkungan pendidikan dan kurikulum pada suatu institusi berperan sebagai pengendali maju mundurnya suatu lembaga pendidikan. lingkungan pendidikan dan kurikulum merupakan proyeksi dari dan untuk masyarakat. Sekolah sebagai pusat pendidikan formal adalah seperangat masyarakat yang diserahi kewajiban mengejawatahkan pendidikan.
Madrasah Tsanawiyah adalah institusi pendidikan setingkat SMP yang berada di bawah naungan Departemen Agama. Orang sering mengatakan MTs merupakan sekolah yang berciri khas agama Islam. Lembaga pendidikan ini belum dikenal orang secara luas, seperti halnya SMP, namun jika di kaji lebih mendalam tentang lembaga ini ternyata memiliki keunggulan dan kelebihan di bandingkan dengan lembaga-lembaga setingkatnya. Muatan kurikulum pada Madrasah tsanawiyah didesain dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional juga dalam rangka membentuk pribadi yang berakhlakul karimah. Kurikulum yang diterapkan di MTs merupakan hasil integrasi dan modifikasi dari kurikulum Depag, Depdiknas, dan Pesantren. Kurukulum ini diorientasikan untuk memberikan landasan kepribadian, keilmuan dan keterampilan bagi anak didik untuk pengembangan lebih lanjut pada jenjang-jenjang pendidikan berikutnya.
Di dalam muatan kurikulum terdapat mata pelajaran PAI, Umum, dan Muatan Lokal. Di dalam implementasi kurikulum mata pelajaran umum di dalamnya terdapat Pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial (IPS). IPS pada tingkat MTs diadaptasi sebagai mata pelajaran yang terdiri dari unsure Geografi, Sosiologi, Ekonomi, dan Sejarah. Pada kurikulum 2006 (KTSP) IPS termasuk IPS terpadu yang terintegratif dari unsure-unsur yang telah disebutkan tadi.
Pentingnya pendidikan IPS di MTs adalah dalam rangka membimbing peserta didik untuk memperoleh keterampilan social dan pengembangan aplikasi demokrasi dalam praktik kehidupan dirnya sebagai interaksi dengan lingkungan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Somantri ( 2001: 180) mengatakan bahwa walaupun aktualisasi Pendidikan IPS dalam upaya demokratisasi akan menekankan pada aspek akademiknya, tetapi unsure partisipasi dan masalah social dalam masyarakat akan memperkaya proses laboratorium demokrasi Pendidikan IPS agar dialog kreatif bisa berkembang dan bisa mengurasngi dialog imperative yang hingga sekarang masih sulit dibah dalam kehidupan masyarakat, bahkan juga dalam kehidupan akademik.
Namun dari semua uraian di atas terkait implementasi pendidikan Ilmu pengetahuan Sosial sungguh sangat memprihatinkan. Banyak sekali permasalahan yang ditemukan sebagai hambatan perkembangan pendidikan IPS di MTs khususnya. Di antara permasalahan di sini bisa kita sebutkan misalnya persepsi pendidikan IPS di kalangan parasiswa dan orang tua masih kurang positif. Orang tua dan siswanya sendiri masih merasa bangga kalau anak-anaknya bisa menguasai bidang IPA atau Matematika. Pendidikan IPS seolah-olah terpinggirkan. Apalagi setelah adanya kebijakan Ujian nasional yang hanya memberlakuan empat mata pelajaran sebagai materi UN. Posisi Pendidikan IPS di kalangan siswa semakin jauh di bawah posisi yang di UN kan, bahkan akan menganggap remeh terhadap pendidikan IPS.
Di samping persepsi yang kurang, factor guru pun sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan IPS. Selama ini guru Pendidikan IPS masih terjadi mismatch. Kebanyakan guru IPS diampu oleh guru yang berlatar belakang bukan dari Pendidikan IPS. Dari kasus ini maka tentunya akan menghasilkan out put dan out come yang rendah.
Seperti yang dikemukakan Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A., guru besar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS) UPI Bandung, mensinyalir + 60% guru PIPS di Indonesia tidak berlatar belakang pendidikan IPS. Sinyalemen ini dikemukakannya pada saat Seminar Nasional dan Musyawaroh Daerah I Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia (HISPISI) Jawa Barat, di Bandung (31 Oktober 2002).
Menyikapi kendala ini, peran pendidik sangat dibutuhkan dalam rangka membangun kebali “kejayaan” IPS di kalangan parasiswa dan orang tua. Lembaga pendidikan khususnya MTs memiliki beban yang cukup berat dalam mengubah paradigma dan pandangan pemikiran siswa dan orang tua siswa terhadap pendidikan IPS.
Pandangan siswa terhadap popularitas PIPS di persekolahan selama ini kurang baik. Hal ini lebih kentara pada institusi pendidikan setingkat Madrasah Aliyah atau SMA ketika mereka diharuskan memilih jurusan sesuai dengan minat dan bakatnya. Maka, ketika parasiswa memutuskan memilih Jurusan IPS alasan mayoritas dari mereka adalah karena menganggap dirinya kurang cerdas, ingin nyantai, dan berbagai alasan lainnya yang bersifat negative.
Akhirnya Prof. Dr. Said Hamid Hasan, M.A.pun mengatakan lagi bahwa “Atas dasar ini, tidaklah berlebihan kiranya apabila dalam kenyataan hidup di masyarakat, mata pelajaran IPS dalam pandangan orang tua siswa menempati kedudukan "kelas dua" dibandingkan dengan posisi IPA, demikian penegasan Prof. Dr. Nursid Sumaatmadja, dalam momentum seminar yang sama”.
Begitu pula parasiswa jurusan IPS terjadi pencitraan yang negative ketika mereka (guru, orang tua, dan siswa itu sendiri) menganggap bahwa parasiswa yang mengambil jurusan IPS memiliki moralitas yang rendah. Dlam arti mereka identik dengan kenakalan remaja mulai dari pergaulan bebas, narkoba, perkelahian, dsb.
Pencitraan buruk terhadap parasiswa jurusan IPS tumbuh secara paradoksal terhadap pesan yang diemban oleh mata pelajaran IPS. Pendidikan IPS seperti yang dikemukakan oleh Somantri bahwa organisasi pelajaran harus disusun menurut struktur disiplin (ilmunya), baik proses penyusunan syntacticak struktur-nya maupun conceptual strukturny-nya. Tidak ada masalah dalam meramu bahan pelajaran dengan disiplin lainnya. Demikian pula tidak ada masalah untuk menjadikan parasiswa menjadi warganegara yang baik. Walaupun demikian aliran ini aliran ini mengakui pentingnya menunbuhkan cirri warganegara yang baik, karena hal itu akan dating dengan sendirinya setelah parasiswa mempelajari masing-masing disiplin ilmu social tersebut (Somantri, 2001: 260).
Mengkritisi konsep yang dikemukakan Somantri di atas menjadi maslah antara cita-cita luhur pendidikan IPS di atas dengan realitas di lapangan. Hal ini menjadikan semua fihak harus mampu memikirkan dan melakukan aksi untk mengubah pencitraan tersebut. Sepandai mungkin menjadikan popularitas IPS menjadi pilihan prioritas dan mereka memiliki puturisme teerhadap konsekuensi pemilihan jurusan IPS tersebut.

1.2 Permasalahan
Persepsi siswa terhadap perkembangan pendidikan IPS di lembaga pendidikan khususnya Madrasah Tsanawiyah menjadi pukulan bagi guru untuk berupaya terus dalam meningkatkan pencitraan IPS di kalangan parasiswa dan orang tua.
Berbagai permasalahan yang terjadi di kalangan madrasah harus mampu memecahkannya agar tujuan pendidikan IPS bersinergi dengan implementasinya di lapangan. IPS menjadi pilihan utama dan menarik bagi siswa dalam pengkajian lebih mendalam.
Sementara itu, pakar PIPS lainnya (seperti Prof. Nu`man Somantri, M.Sc.Ed, Prof. Dr. Azis Wahab, M.A., dan Prof. Dr. Suwarma Al Muchtar, S.H. M.Pd.) mengungkapkan, bahwa proses pembelajaran IPS di tingkat persekolahan mengandung beberapa kelemahan seperti digambarkan di bawah ini beserta faktor-faktor yang menyebabkannya :
1. Kurang memperhatikan perubahan-perubahan dalam tujuan, fungsi , dan peran PIPS di sekolah Tujuan pembelajaran kurang jelas dan tidak tegas (not purposeful)
2. Posisi, peran, dan hubungan fungsional dengan bidang studi lainnya terabaikan Informasi faktual lebih bertumpu pada buku paket yang out of date dan kurang mendayagunakan sumbr-sumber lainnya
3. Lemahnya transfer informasi konsep ilmu-ilmu sosial Out put PIPS tidak memberi tambahan daya dan tidak pula mengandung kekuatan (not empowering and not powerful)
4. Guru tidak dapat meyakinkan siswa untuk belajar PIPS lebih bergairan dan bersungguh-sungguh Siswa tidak dibelajarkan untuk membangun konseptualisasi yang mandiri
5. Guru lebih mendominasi siswa (teacher centered) Kadar pembelajaran yang rendah, kebutuhan belajar siswa tidak terlayani
6. Belum membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokrasi sosial kemasyarakatan dengan melibatkan siswa dan seluruh komunitas sekolah dalam berbagai aktivitas kelas dan sekolah Dalam pertemuan kelas tidak menggagendakan setting lokal, nasional, dan global, khususnya berkaitan dengan struktur sistem sosial dan perilaku kemasyarakatan
Berdassarkan uraian di atas, maka pada makalah ini dirmuskan permasalahan sebagai berikut
1) Bagaimana paradigma baru pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah?
2) Bagaimana Pemberdayaan Pendidikan IPS pada Madrasah Tsanawiyah?
3) Bagaimana peran masyarakat dalam membentuk persepsi pendidikan IPS di MTs?

1.3 Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah
1) Untuk mengetahui implementasi kurikulum IPS di Madrasah Tsanawiyah sebagai institusi pendidikan berciri khas Islam.
2) Untuk mengetahui paradigma baru pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah.
3) Untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi implementasi kurikulum pendidikan IPS di Madrasah pada tingkat Tsanawiyah.

1.4 Metode
Metode yang diganakan dalam penulisan makalah ini adalah metode deskritif. Alasannya bahwa metoda deskriptif adalah pembahasan yang ingin menggambarkan dan melukiskan kondisi nyata terhadap paradigma pendidikan IPS di Madrasah Tsanawiyah. Sedangkan teknik pengumpulan data adalah dengan menggunakan teknik studi lapangan dan studi leteratur. Melalui studi literature ini penulis mengadakan pengkajian dan mempelajari tulisan-tulisan yang memiliki relevansi dengan masalah - masalah yang sedang diteliti.

BAB 2
KAJIAN TEORETIS

2.1 Konsep Pendidikan IPS
Pendidikan IPS dilaksanakan pada dasarnya untuk menciptakan pewarisan sistem social dan budaya yang heterogen dan berfungsi menciptakan realitas kehidupan dalm konteks social masyarakat. Somantri( 2001: 133) mengatakan bahwa dalam menanggapi penyusunan bahan pendidikan yang menggunakan inter-, cros-, dan trans disipliner. Ditawarkannya pendekatan ini dimaksudkan agar Pendidikan IPS lebih realistic dalam menghadapi kenyataan social, sehingga materinya lebih berguna bagi peserta didik terutama bagi mereka yang tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.
Pernyataan Numan tersebut menunjukkan bahwa Pendidikan IPS pada dasarnya dibentuk dari pendekatan inter-, cros-, dan trans disipliner. Pendekatan ini pada hakikatnya adalah dalam rangka pengkajian secara mendalam masalah-masalah social agar terbentuk jiwa social yang mampu beradaptasi dengan konteks kehidupan itu sendiri.
Selanjutnya dari latar belakang di atas muncul sebuah pemikiran untuk mengembangkan studi social (social study). Melalui pendidikan IPS ini dimaksudkan agar terbentuk pola kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka,
Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan terjadi pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial” sebagai mata pelajaran sosial terpadu. Dalam Kurikulum tersebut digunakan istilah Pendidikan Kewargaan negara yang di dalamnya tercakup Sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara.
Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan. Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Pendidikan IPS adalah penyederhanaan adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Pendidikan IPS adalah seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan. profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
Pendidikan IPS di dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan dikembangkan sebagai mata pelajaran yang terpadu yang mencakup seluruh aspek pengetahuan IPS geografi, sejarah, sosiologi, antropologi, dan ekonomi, Ahmad Arief mengatakan bahwa pendidikan IPS adalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu. Sehingga baik dalam nomenklatur filsafat ilmu, disiplin ilmu-ilmu sosial, maupun ilmu pendidikan tidak akan ditemukan adanya sub-sub disiplin PIPS, yang dalam kepustakaan National Council for Social Studies (NCSS) dan Social Science Education Council (SSEC) disebut "social studies" dan "social science education". Sementara itu, IPS sendiri didefinisikan sebagai
... the integrated study of the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and natural sciences. (NCSS, 2003)
Ini berarti PIPS mencakup kajian terpadu ilmu-ilmu sosial (seperti : antropologi, arkeologi, ekonomi, geografi, sejarah, hukum, filsafat, ilmu politik, psikologi, agama, dan sosiologi) serta diperluas dengan materi humaniora, matematika, dan ilmu-ilmu alam. Selanjutnya, tujuan PIPS adalah
"to help young people develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent world" (NCSS, 2003).
Sedangkan Forum Komunikasi II HISPIPSI (1991) di Yogyakarta telah mendefinisikan PIPS sebagai penyederhanaan atau adapatasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).
Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan. Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).

2.2 Tujuan Pendidikan IPS
Semua factor dan unsure-unsur yang terkandung dlam pendidikan IPS bermuara pada tujuan. Penetapan landasan filosofis, akademik, dan edukatif serta pengebangan teori dan konsep akan tergantung dari tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan dari pengembangan pendidikan IPS meliputi pengembangan intelektual, kemampuan individual serta perannya dalam masyarakat. Hal tersebut pada akhirnya akan dibangun melalui suatu pondasi pendidikan IPS yang dirancang oleh keterkaitan yang signifikan antara teori dan konsep serta landasan filosofis, akademik, dan edukatif dengan tujuannya (Supriatna dkk, 2007:1-2).
PIPS yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia pada prinsipnya identik dengan studi sosial (social studies) yang diajarkan di sekolah-sekolah di luar negeri, terutama di Amerika Serikat, tetapi isinya (content) disesuaikan dengan kondisi Indonesia (Sanusi, 1998; Somantri, 2001).
Tujuan PIPS adalah mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hokum, sosiologi dan pengetahuan social lainnya. Menurut faham ini, kurikulum pengajaran IPS harus diaorganisasikan secara terisah-pisah sesuai dengan body of knowledge masing-masing disiplin ilmu social tersebut (Smonatri, 2001: 260).
Pendapat kedua mengatakan bahwa tujuan pengajaran IPS di sekolah ialah untuk menumbuhkan warga Negara yang baik. Pengajaran di sekolah harus merupakan “aunified coordinated holistic study of men living in societies” (Hanna, 1962: 63 dalam Somantri, 2001:260)
Pendapat ketiga tentang tujuan PIPS adalah gabungan antara pendapat pertama dengan pendapat kedua, yakni mendidik parasiswa menjadi ahli ekonomi, politik, hokum, sosiologi dan pengetahuan social lainnya serta untuk menumbuhkan warga Negara yang baik. Kedua gabungan tujuan ini akan menunjukkan bahwa tujuan pendidikan IPS berlangsung secara menyeluruh dan holistic.
Berbeda dengan pandapat keempat, bahnwa tujuan pendidikan IPS adlah dimaksudkan untuk mempelajari bahan pelajaran yang sifatnya “tertutup” (closed area), maksudnya adalah bahwa dengan mempelajari bahan pelajaran yang pantang (tabu) untuk dbicarakan, para siswa akan memperoleh kesempatan untuk memecahkan konflik interpersonal maupun antar personal. Bahan pelajaran IPS yang tabu tersebut dapat timbul dari bidang ekonomi, politik, sejarah, sosiologi, dan ilmu-ilmu social lainnya (Somantri, 2001: 261).
Akhir dari tujuan pendidikn IPS tentunya harus pula bermuara dan bersinergi dengan tujuan Pendidikan Nasional. Cita-cita luhur Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Seperti yang tercantum pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yakni Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

2.2 Muatan Kurikulum Pendidikan IPS
Salah satu pegangan dalam pengembangan kurikulum ialah prinsip-prinsif yang dikemukakan oleh Ralp Tyler (dalam Nasution,1989: 6). Ia mengemukakan kurikulum ditentukan oleh empat factor atau asas utama, yaitu
(1) Falsafah bangsa, masyarakat, sekolah dan guru-guru (aspek filosofis)
(2) Harapan dan kebutuhan masyarakat (orang tua, kebudayaan masyarakat, pemerintah, agama, ekonomi, dsb) (aspek sosiologis).
(3) Hakikat anak antara lain taraf perkembangan fisik, mental, psikologis, emosional, social, serta cara anak belajar (aspek psikologis).
(4) Hakikat pengetahuan atau disiplin ilm (bahan pelajaran). (Somantri, Muhammad Numan, 2001)
Kurikulum dan pembelajaran IPS di MTs/SMP mengacu pada landasan filsafat yang dianut dalam system persekolahan. Selama ini tidak ada landasan filosofis yang tunggal yang dirujuk dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dalam system persekolahan kita (Hasan, 2007 dalam Supriatna dkk, 2007: 1).
Berkenaan dengan PIPS yang diajarkan di level pendidikan dasar, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) menerangkan bahwa PIPS adalah mata pelajaran yang mempelejari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian pokok geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara, dan sejarah
PIPS yang diajarkan di tingkat pendidikan dasar terdiri atas dua bahan kajian pokok : ilmu pengetahuan sosial dan sejarah; bahan kajian sejarah meliputi perkembangan bangsa Indonesia sejak masa lampau hingga masa kini; sedangkan bahan kajian ilmu pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi, dan pemerintahan.
Sementara untuk jenjang pendidikan menengah, menurut Depdikbud (1994), PIPS dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa melanjutkan dengan ilmu-ilmu sosial, baik dalam bidang akademik maupun pendidikan professional. Selain daripada itu, siswa juga diberikan bekal kemampuan, secara langsung atau tidak langsung, untuk bekerja di masyarakat. Dengan demikian untuk jenjang pendidikan menengah, dikenal mata pelajaran antropologi, sosiologi, geografi, sejarah, ekonomi, tata negara-yang keseluruhannya mengacu kepada social sciences (ilmu-ilmu sosial).
Dalam wacana kurikulum sistem Pendidikan di Indonesia terdapat tiga jenis program pendidikan sosial, yakin: program (pendidikan) ilmu-ilmu sosial (IIS) yang dibina pada fakultas-fakultas sosial murni; disiplin ilmu pengetahuan sosial (PDPIS) yang dibina pada fakultas-fakultas pendidikan ilmu sosial: dan pendidikan ilmu pengetahuan sosial (PIPS) yang diberikan terutama di dalam pendidikan persekolahan
Dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil yakni: (1) Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang mewadahi tradisi “citizenship transmission”; (2) pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar; (3) pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata palajaran geograft, sejarah, dan ekonomi koperasi; dan (4) pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG.
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan LPS yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmissio” dalam bantuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan. Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi “social science” dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan. yang terintegrasi di SD.
Dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampal saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni: Pertama, PIPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora, yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan; dan kedua, PDIPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagogis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan disiplin lain yang relevan, untuk tujuan pendidikan. profesional guru IPS. PIPS merupakan salah satu konten dalam PDIPS.
Menengok Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).Dari berbagai dokumen yang dirilis dan disosialisasikan oleh Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, akan tampak sebaran mata pelajaran PIPS di dalam struktur kurikulum di berbagai jenjang pendidikan,
Jenjang Pendidikan Mata Pelajaran PIPS diberikan di Kelas Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah adalah
1. Kewarganegaraan
2. Pengetahuan Sosial
Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah mulai dari elas VII, VIII, dan IX mencakup pembelajaran
1. Kewarganegaraan
2. Pengetahuan Sosial VII, VIII, dan IX
Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah Pendidikan IPS mencakup kelas X, kelas XI dan XII khusus penjurusan IPS
a. Pengkhususan Program Studi
• Program Studi Ilmu Alam
• Program Studi Ilmu Sosial
• Program Studi Bahasa
b. Non-Pengkhususan Program Studi
• Program Bersama
• Program Pilihan
Dari gambaran di atas terlihat, semakin meneguhkan menguatnya tradisi dan konsep pemikiran para ahli ilmu-ilmu sosial (semenjak kurikulum PIPS 1975 hingga KBK), sehingga kurang adaptif dengan inovasi hasil pemikiran para ahli PIPS. Hal ini berdampak pada model pengembangan kurikulum yang digunakan serta arah implementasinya.
Model pengembangan KBK, secara teoritik, untuk menyempurnakan model kurikulum sebelumnya yang banyak menggunakan pendekatan sistem instruksional yang selama ini dinilai kurang tepat dengan tuntutan peningkatan mutu.
Beberapa Implikasi Kurikulum yang berbasis kompetensi (KBK) akan berhasil meningkatkan mutu pembelajaran PIPS di Indonesia apabila diikuti dengan pengembangan berbagai model pembelajaran yang selama ini sering terabaikan. Intinya : KBK PIPS perlu dilengkapi dengan
Pembelajaran Berbasis Kompetensi (PBK) PIPS.
Karena pendekatan kompetensi dalam pengembangan kurikulum memiliki potensi untuk lebih dekat dengan "materi subyek" daripada "materi pedagogis", dengan demikian PIPS lebih akrab dengan pola pikir ilmuwan sosial daripada kepentingan dan kebutuhan serta kapasitas perkembangan berpikir sosial peserta didik.
Untuk itu, pengembangan model pengintegrasian isi pelajaran dengan pedagogis dipandang tepat untuk memfungsionalkan materi pelajaran bagi pengembangan potensi pembelajaran, sekaligus untuk memberikan keseimbangan antara pendekatan proses dan pendekatan tujuan.


BAB 3
PEMBAHASAN

3.1. Paradigma Baru Pendidikan IPS Di Madrasah Tsanawiyah
Sudah seharusnya pola pembelajaran pendidian IPS di ubah. Guru sebagai garda terdepan memiliki kesempatan luas untuk membuka carawala dan khazanah penguasaan pendekatan dan metode untuk mengubah pembelajaran IPS. Pembaharuan proses pendidikan IPS ini pada dasarnya untuk membentuk manusia yang tercipta sebagai makhluk social yang hakiki.
Manusia sebagai makhluk sosial perlu memahami dan melaksanakan fungsi sosialnya. Pendidikan IPS diharapkan menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari kehidupan masyarakat disekitarnya dan selanjutnya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Titik berat studi sosial adalah perkembangan individu yang dapat memahami lingkungan sosialnya, serta manusia dengan kegiatannya dan interaksi antar mereka, dan anak didik agar menjadi anggota yang produktif dan dapat memberikan andilnya dalam masyarakat yang merdeka, mempunyai rasa tanggung jawab, tolong menolong sesamanya dan dapat mengembangkan nilai-nilai dan cita-cita masyarakat.
Pendidikan IPS diarahkan agar peserta mengamati dan mengalami dalam hidup bermasyarakat sehinggan membantu peserta untuk memahami lebih mendalam kehidupan masyarakat sekitarnya. IPS diperlukan untuk memecahkan masalah/problema sosial yang teridentifikasi dalam kehidupan bermasyarakat. Disamping memecahkan masalah sosial pendidikan IPS juga dimaksudkan untuk mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep dan ngeneralisasi yang berkaitan dengan IPS. Pendidikan IPS mensyaratkan mata kuliah Konsep Dasar IPS, hal ini dimaksudkan peserta sudah memahami konsep dasar IPS . Pendidikan IPS merupakan integrasi dari rumpun sosial dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dari ilmu-imu sosial. Materi IPS di sekolah lebih menitik beratkan materi sosiologi, ekonomi, geografi dan sejarah, walaupun demikian dalam batas batas tertentu tetap mengkaitkan dengan ilmu yang lain.
Kurikulum 2006 Mata Pelajaran IPS di jenjang MTs secara legal formal ditetapkan dengan menggunakan model pembelajaran IPS Terpadu. Pengertian terpadu bukan semata-mata sudah tidak muncul lagi Sub Mata Pelajaran Sejarah, Geografi dan Ekonomi, namun program pembelajarannya harus disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun sosial dengan memadukan kompetansi dasar yang ada.
Permasalahan yang muncul adalah Kompetensai Dasar (KD) dalam Kurikulum Mata Pelajaran IPS belum terstruktur secara terpadu. Walaupun Sub Mata Pelajaran sudah tidak dikenal lagi, namun KD-KD dalam standar isi tersebut masih menunjukkan secara eksplisit substansi dari masing-masing sub mata pelajaran. Dampaknya dalam mengajar guru cenderung mengikuti kurikulum berdasarkan urutan yang ada. Bahkan masih sering ditemukan guru yang mengajar IPS Ekonomi, IPS Sejarah atau IPS Geografi secara terpisah-pisah.
Model IPS Terpadu ada tiga model pembelajaran IPS terpadu. Pertama, model integrasi berdasarkan topik. Caranya dengan memilih atau menetapkan topik tertentu, dan topik tersebut ditinjau dari berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam IPS, misalnya topik flu burung. Persebaran wabah flu burung dan karakteristik fisis-geografis daerah terjangkit dikaji melalui disiplin Ilmu Geografi, dampaknya terhadap kegiatan perekonomian masyarakat ditinjau dengan disiplin Ilmu Ekonomi. Analisis proses awal masuknya flu burung di Indonesia dapat dikaji dengan disiplin Ilmu Sejarah, sedangkan bagaimana reaksi masyarakat yang mengahadapi wabah flu burung dan bagaimana partisipasi yang diberikan dalam upaya penanggulangannya dapat dikaji dengan disiplin Ilmu Sosiologi.
Kedua, model integrasi berdasarkan potensi utama. Dipilih tema yang didasarkan pada potensi utama yang ada di wilayah setempat. Misalnya Ungaran sebagai kawasan industri. Faktor alam apa yang menunjang pengembangan industri di Ungaran dianalisis dengan disiplin Ilmu Geografi. Bagaimana dukungan/kebijakan pemerintah daerah dikaji dengan Ilmu Politik, seberapa besar ketersediaan tenaga kerja dan efek perekonomian yang muncul dilihat dengan kacamata Ekonomi. Sedangkan bagaimana kemungkinan dampaknya terhadap kehidupan sosial-budaya dianalisis dengan disiplin Ilmu Sosiologi-Antropologi.
Ketiga, model integrasi berdasarkan masalah. Banyak sekali dijumpai permasalahan lingkungan dan sosial di sekitar anak. Jika permasalahan tersebut diangkat menjadi tema dalam pembelajaran di kelas sangat menarik dan meningkatkan kepedulian siswa terhadap masalah tersebut, misalnya pornografi. Apa faktor sosial-budaya yang mendorong maraknya pornografi tentu dapat dikaji dengan bantuan disiplin Ilmu Sosiologi-Antropologi. Sampai di mana saja persebaran masalah tersebut, kapan masalah tersebut mulai muncul dan bagaimana perkembangannya, apa dampaknya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, dan apa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah ? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan disiplin ilmu sosial yang sesuai.
Pembelajaran IPS Terpadu merupakan gabungan dari berbagai disiplin ilmu sosial. Di sekolah, guru yang tersedia umumnya merupakan guru dengan disiplin ilmu yang terpisah-pisah. Hal ini tentunya mengundang masalah bagi guru untuk beradaptasi dalam pengintegrasian disiplin ilmu sosial tersebut. Solusi yang dapat diberikan adalah mengajar dengan Team Teaching yaitu dua-tiga orang guru mengajar secara bersama-sama di dalam kelas. Setiap guru memiliki tugas sesuai dengan keahlian dan kesepakatan team.
Pembelajaran IPS Terpadu bagi siswa memberikan peluang untuk pengembangan kreativitasnya. Model ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik, asosiatif serta eksploratif dan elaboratif. Dengan mengupas permasalahan sosial yang ada di lingkungan siswa akan mempermudah dan memotivasi untuk mengenal, menerima, menyerap dan memahami keterkaitan konsep, pengetahuan, nilai atau tindakan yang dikehendaki oleh kurikulum.
Pardigma Sosial Studi
Dalam IPS Terpadu tersurat adanya perubahan paradigma dari Ilmu Sosial (Social Sciences) menjadi Studi Sosial (Social Study). Ilmu-ilmu Sosial (Sosiologi, Antropogi, Ekonomi, Politik, dll) lebih menekankan konsep dan teori yang abstrak dan rumit sehingga kemampuan anak di jenjang pendidikan dasar (SMP) belum cukup untuk menyerap dan memahaminya. Sedangkan studi sosial merupakan bidang pelajaran mengenai kehidupan manusia dalam masyarakat. Studi sosial lebih bersifat praktis, tidak menyajikan materi yang terlalu abstrak dan teoritis tetapi lebih bersifat terapan. Studi sosial lebih menitikberatkan pada bahan-bahan pelajaran yang langsung menyangkut kepentingan siswa dalam rangka proses belajar mengajar guna mencapai tujuan-tujuan pendidikan
Guru harus bisa mengikuti perubahan paradigma ini, sebab perubahan ini memberikan ruang untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengajar. Guru tidak harus tunduk pada urutan KD dalam kurikulum. Ia dapat menetapkan topik atau permasalahan tertentu dan mengambil KD-KD yang dibutuhkan untuk disajikan di dalam pendekatan pembelajaran kooperatif. Guru dapat mengambil topik permasalahan yang sedang aktual misalnya naiknya harga-harga, golput, sampah, pornografi dan sebagainya. Upaya yang harus dilakukan guru IPS memang tidak mudah. Tetapi percayalah, hal ini bukan disebabkan oleh kurangnya kemampuan guru, melainkan karena masih ragu mencoba dan belum terbiasa melakukannya.



3.2 Pemberdayaan Pendidikan IPS pada Madrasah Tsanawiyah
Menyadari pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai luhur Agama Islam sebagai keyakinan hidup, maka eksistensi lembaga pendidikan yang bernuansa Islami semakin didambakan semua orang tua. Mengingat dewasa ini Indonesia sedang mengalami kelunturan nilai dan budi pekerti akibat dari terkikisnya oleh system globalisasi yang nyaris tak terbendung ini.
Senada dengan ini Rusyan ( 2001: 7) mengatakan bahwa budi pekerti merupakan factor utama dalam kesinambungan hubungan dalam kehidupan, maka derajat kita tergantung pada budi pekertinya. Kekayaan yang melimpah bagi kita tanpa dibarengi budi pekerti yang baik akan hilang maknanya dan bukan kebaikan yang akan terwujud, tetapi kejahatan, kekejaman, dan kebengisan terhadap yang lemah (seperti penculikan, pemerkosaan HAM, dan sebagainya).
Kepandaian seseorang tidak ada artinya kalau tidak dibarengi oleh kehalusan jiwa dan ketebalan keyakinan kepada Allah SWT. Selama ini sulit sekali menemukan seseorang yang memiliki kekuatan yang seimbang antar intelegensi (kepintaran) dengan keluhuran budi pekerti karena memiliki kekuatan yang dalam terhadap penguasaan pengetahuan agama dan keimanan yang kokoh.
Madrasah Tsanawiyah adalah suatu institusi pendidikan yang akan menyiapkan semua cita-cita itu. MTs hadir sebagai lembaga yang di dalamnya memuat kurikulum yang sempurna dan seimbang antara pengetahuan agama dengan pengetahuan umum.
MTs sebenarnya lembaga pendidikan yang setingkat dengan Sekolah menengah Pertama (SMP). MTs berada di bawah naungan Departemen Agama yang pengurusannya diserahkan kepada bagian Direktorat Jendral Bimbingan masyarakat Islam(Dirjen Bimas Islam) yang membawahi Direktorat Pendidikan Agama Islam (Depag, 2004: 48) selanjutnya pengurusan untuk tingkat provnsi diserahkan kepada bidang Pendidikan Agama Islam (Mapenda) Kantor Wilayah Depag Provonsi dan pada tingkat Kantor Wilayah Departemen Agama Kabupaten diserahkan kepada bidang Pendidikan Agama Islam (Mapenda) Kantor Departemen Agama Kabupaten (Depag, 2004: 54).
Kurikulum yang digunakan pada MTs merupakan integrasi antara kurikulum Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, dan Pesantren. Kemudian dielaborasi sehingga terbentuk kurikulum yang komprehensif dan unggul dalam segala bidang.



3.3 Peran Serta masyarakat
Mutakin (2008:141) mengatakan bahwa hanya perubahan itu sendiri yang tidak pernh berubah, namun apa yang disebut masyarakat dengan berbagai bentuk satuan sosialnya, dengan berbagai unsure dan aspeknya, dengan berbagai fenomenanya baik fisik material maupun social-spiritualnya, semuanya itu senantiasa mengalami proses perubahan, semuanya mengalami suatu dinamika. Spesifikasi perubahan social itu akan meliputi segala sesuatu yang berkenaan dengan 1) nilai-nilai dan norma-norma sosial, 2) organisasi social, kelembagaan social, kekuasaan dan wewenang, interaksi social dan sejenisnya,
Transformasi masyarakat seperti yang dikemukakan Mutakin di atas memberikan landasan kepada kita bahwa masyarakat senantiasa berubah baik pada pola hidup maupun orientasi hidupnya. Selama ini ketika kita sedang mengalami krisis multidimensional termasuk di dalamnya sedang mengalami krisis moral, maka masyarakt secara alami mulai berpikir cara-cara menanggulangi berbagai krisis itu.
Pendidikan IPS sebagaimana kita ketahui memiliki tujuan yang sangat luhur, yakni dalam rangka membentuk pribadi yang mampu berinteraksi social, memiliki keterampilan social, memiliki keluasan pemahaman tentang pengetahuan social, dsb yang nanti harus dielaborasi dengan pengetahuan agama Islam sehingga dalam hidup dan kehidupannya berkembang secara seimbang dan selaras dengan tuntunan tugas hidup sebagai mahkluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.

3.4 Factor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kurikulum Pendidikan IPS di Madrasah pada Tingkat Tsanawiyah
Pendidikan IPS di MTS sebagai lembaga yang berciri khas Islam diimplementasikan sebagai pendidikan kolaborasi antara pendidikan social dengan pendidikan ke-Islam-an. Pesan-pesan moral agama dan nilai-nilai budaya keislaman harus mampu dielaborasi menjadi pendidikan IPS yang integrative dan terpadu sehingga pada akhirnya terbentuk insane sosial yang memiliki utuh sesuai tuntunan nilai-nilai Islam yang terbuktikan dalam kehidupan nyatasehari-hari.
Dalam rangka pembentukan elaborasi pendidikan IPS dengan pendidikan keagamaan harus diupayakan adanya adaptasi pendekatan pendidikan dengan kemajuan zaman yang semakin canggih. Upaya tuntutan ini tentunya pola pendidikan IPS pun harus bersinergi dengan tuntutan reformasi pendidikan kita.
Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, pendidikan yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan guru dan siswa dalam pola-pola pembelajaran IPS.
.Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas Tahun 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural,dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan,serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah(pusat) dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar, miniml pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggungjawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2).


BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pendidikan IPS di MTS sebagai lembaga yang berciri khas Islam diimplementasikan sebagai pendidikan kolaborasi antara pendidikan social dengan pendidikan ke-Islam-an. Pesan-pesan moral agama dan nilai-nilai budaya keislaman harus mampu dielaborasi menjadi pendidikan IPS yang integrative dan terpadu sehingga pada akhirnya terbentuk insane sosial yang memiliki utuh sesuai tuntunan nilai-nilai Islam yang terbuktikan dalam kehidupan nyatasehari-hari.
Pendidikan IPS memiliki tujuan yang sangat luhur, yakni dalam rangka membentuk pribadi yang mampu berinteraksi social, memiliki keterampilan social, memiliki keluasan pemahaman tentang pengetahuan social, dsb yang nanti harus dielaborasi dengan pengetahuan agama Islam sehingga dalam hidup dan kehidupannya berkembang secara seimbang dan selaras dengan tuntunan tugas hidup sebagai mahkluk yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Dalam rangka pembentukan elaborasi pendidikan IPS dengan pendidikan keagamaan harus diupayakan adanya adaptasi pendekatan pendidikan dengan kemajuan zaman yang semakin canggih. Upaya tuntutan ini tentunya pola pendidikan IPS pun harus bersinergi dengan tuntutan reformasi pendidikan kita.
Pendidikan di MTs dibangun guna melaksanakan amanah masyarakat untuk mengantarkan peserta didik pada jenjang kesempurnaan individu yang hakiki. Artinya individu yang selalu siap menghadapi tantangan hidup yang lebih kompleks serta diharapkan memiliki bekal yang luas dalam menghadapi masa depan yang langgeung, yakni akhirat kelak.



4.2 Saran-saran
Saran – saran yang ingin disampaikan berkaitan dengan pembaharuan paradigama pendidikan IPS di MTs adalah sebagai berikut:
1) Pemerintah hendaknya lebih banyak memberikan kesempatan kepada institusi MTs untuk mengembangkan kurikulum pendidikan IPS dengan mengkolaborasikan antara pendidikan keagamaan dengan konsep-konsep social studies.
2) Guru harus mampu mengimbangi perkembangan pendidikan yang semakin berkembang seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat yang haus akan kemajuan sebuah pendidikan.
3) Filterisasi budaya barat dalam rangka mencegah penyimpangan perilaku social pad anak didik harus terbentuk melalui pendidikan di MTs.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI. (2004). Membiasakan Tradisi Agama (Arah Baru Pengembangan PAI Pada Sekolah Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam.
Departemen Agama RI. (2004). Struktur Departemen Agama RI. Jakarta: Biro Kepegawaian Sekretariat Jendral.
Iskandar, Dadang dkk. (2009). Pengembangan profesi Guru. bandung: Universitas Pasundan.
Mutakin, Awan. (2008). Individu, Masyarakat dan perubahan Sosial. Bandung: FAkultas PIPS UPI Bandung.
Nasution. (1989). Kurikulum dan Pengajaran. bandung: Bumi Aksara.
Rusyan, A. Tabrani. (2002). Pendidikan Budi Pekerti. Jakarta: Inti Media.
Rusyan, A. Tabrani. (1993). Proses Belajar mengajar yang Efektif Tingkat Pendidikan Dasar. Bandung: Bida Budaya.
Somantri, Muhammad Numan. (2001). Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Rosda Karya.
Supriatna, Nana dkk. (2007). Bahan Ajar Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Usman, Uzer. (1991). Menjadi Guru Profesional. bandung: PT Rosda Karya.


Sumber dari Internet
sriyandi.wordpress.com/.../paradigma-baru-pendidikan-ips/di askses pada tanggal 23 Februari jam 20.00 WIB
pips-sd.blogspot.com/2008_09_01_archive.htmlpips- di askses pada tanggal 23 Februari jam 20.00 WIB
Posted by MYTULISAN On 17.05 No comments READ FULL POST

Metode Pembinaan Etika Sopan Santun Kepada Anak
Ada beberapa metode dan pendekatan yang mungkin bisa digunakan dalam pembinaan etika sopan santun kepada anak melalui berbagai cara yang akan kita bahas pada kesempatan berikut, diharapkan dengan metode pembinaan dan pendekatan etika sesuai dengan prinsip dasar etika yang dipadukan, dapat menciptakan insan kamil yang berbudipekerti baik.
1. Metode Syariat (Doktrin)
Seorang anak yang daya berpikir dan penalarannya masih iilim perkembangan diperlukan doktrin-doktrin yang membiasakan perilakunya agar menjadi baik. Doktrin yang dimaksudkan adalah ajaran-ajaran agama yang sifatnya mengikat yang harus dilakukan anak. Maka di sini sebenarnya diperlukan model atau contoh dari orang-orang yang ada di dekatnya. Aturan-aturan sangat diperlukan di saat kemampuan nalar dan daya berpikir masih terbatas, karena memang dalam fitrahnya manusia berkembang secara bertahap dan memerlukan pengarahan untuk menuju rumaannya.
2. Metode Dialog
Anak dilahirkan dengan membawa berbagai macam potensi, termasuk potensi etika yang dibawanya dari ibu dan ayahnya. Potensi yang ada tersebut masih bersifat dasar, maka pengembangannya dengan jalan berdialog untuk menggugah dan menyadarkan berdasarkan potensi yang dibawanya. Apalagi etika adalah bentuk perilaku yang tidak dibuat-buat dan dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanpa tekanan siapapun. Jadi, usaha pendidik mengajak dialog dan bertukar pikiran, untuk penanaman etika mutlak diperlukan. Karena dengan metode ini anak digugah kesa-darannya dengan bertukar pikiran dan merangsang penalarannya.

3. Metode Keteladanan
Pada diri manusia terutama pada usia anak-anak sampai remaja, sifat menirunya sangat dominan. Di usia dewasa pun pengaruh keteladanan dalam diri seseorang masih dapat ditemukan. Sehingga Allah Swt. mengutus Nabi Muhammad Saw. dengan tugas utama memperbaiki etika manusia. Metode utama yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. dalam berdakwah adalah dengan keteladanan. Metode inilah Nabi Muhammad Saw. mencapai keberhasilan dalam mengemban tugas mulianya.
Pada prinsipnya di samping tiga metode pembinaan etika di atas, dalam Alquran terdapat gaya bahasa mengandung nilai metode pembinaan etika yang akurat. Allah Swt. menunjukkan kepada manusia tentang prinsip-prinsip pelaksanaan pembinaan etika.
Di sisi lain, analisis yang dapat dilihat dan dijabarkan tentang metode pembinaan etika, dapat dilakukan dengan beberapa cara pendekatan, yaitu.
a. Pendekatan Psikologis
Yaitu mengajak dan mengarahkan manusia untuk berpikir induktif dan deduktif tentang gejala-gejala ciptaan-Nya di langit dan di bumi ini (dalam aspek rasional-intelektual). Dalam aspek emosional mendorong manusia untuk merasakan adanya keluasan yang lebih tinggi yang gaib sebagai pengendali jalannya alam dan kehidupan ini. Sedangkan aspek ingatan dan kemauan manusia didorong untuk difungsikan ke dalam kegiatan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama agar tidak terjadi penyimpangan etika.
b. Pendekatan Sosiokultural
Pendekatan ini memandang manusia sebagai makhluk individual yang menghamba pada Allah Swt. makhluk sosial dan berbudaya. Sebab, manusia dikaruniai potensi dasar etika untuk mengatur sistem kehidupan bermasyarakat (bersuku-suku dan berbangsa-bangsa), menciptakan dan mengembangkan kebudaya-annya bagi kesejahteraan umat manusia, tanpa meninggalkan agama.
c. Pendekatan scientific
Bahwa manusia yang diciptakan Allah Swt. dengan dikaruniai potensi etika, menciptakan dan menemukan hal-hal baru yang Kemudian dikembangkan melalui inteleknya menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kesejahteraan hidupnya. Hasil ciptaan dan penemuannya itulah berupa ilmu pengetahuan dan teknologi serta ifanu-ilniu lain.
d Pendekatan Sistem Rasionalistik
Suatu cara untuk mengajarkan dan pembinaan etika dengan 3engandalkan akal pikiran. Akal pikiran dapat membedakan attara baik dan buruk, benar dan salah. Pendekatan ini bisa juga fartikan dengan menggali pemikiran-pemikiran pendidikan modern dengan memberdayakan rasio.
e. Pendekatan Sistem Kritik
Pendekatan kritik adalah pendekatan dalam menggali pendi¬dikan etika, baik secara konseptual maupun aplikatif, dengan cara mengoreksi kelemahan-kelemahannya. Kemudian menawarkan solusi atau alternatif pemecahannya. Dahulu filsafat Yunani menjadi subur karena para pemikirnya mengembangkan pendekatan kritik. Demokritus mengkritik Parmenides, Sokrates mengkritik pemikiran Pytagoras, Aristoteles mengkritik pemikiran Plato, Immanuel Kant mengkritik David Hume, Hegel mengkritik Immanuel Kant, John Stuart Mill mengkritik Augus Comte, dan Soren Kierkgaard mengkritik Hegel. Demikian juga dalam filosof Islam; al-Amiri mengkritik al-Razi, al-Ghazali mengkritik Ibnu Sina dan kawan-kawannya, Ibnu Rusyd mengkritik al-Ghazali dan seterusnya. Dari kritik-kritik ini didapat pengetahuan baru, karena pengkritik menawarkan alternatif pemikiran baru.
Kritik itu terlahir dari proses berpikir secara cermat, jernih dan mendalam sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dari konsep-konsep, teori-teori maupun pemikiran-pemikiran yang dikritik. Kemudian kritikus mencoba membangun konsep, teori atau pemikiran yang dapat dijadikan alternatif pemecahan ter-faadap kelemahan tersebut. Sampai di sini mekanisme kritik telah menghasilkan dua tataran pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang kelemahan dari objek kritik dan pengetahuan tentang alternatif pemecahan terhadap kelemahan itu. Contoh konkret al-Ghazali ‘setelah mendalami ilmu kalam), ia mengkritik mutakallimin karena tidak mampu mencapai pengetahuan hakiki, bahkan inetode kalam belaka, dipandang membuat manusia tidak dapat mengenal Allah secara hakiki. Dalam bidang filsafat, ia mengecam kecenderungan filosof, karena ajaran-ajaran filosof cenderung membahayakan akidah dan mengabaikan dasar-dasar ritual. la tidak menolak filsafat secara keseluruhan, tetapi yang ditolak hanya argumentasi rasional yang diyakini satu-satunya alat untuk membuktikan kebenaran metafisik. la menilai para filosof telah memaksakan rasio, malah bila perlu mengorbankan akidah. Hal itu menyebabkan al-Ghazali meninggalkan filsafat.31 Dari krisis ini al-Ghazali yang berimbas pada krisis psikologis, akhirnya ia menemukan benang merah kebenaran pengetahuan, yaitu tasawuf.
Dalam konotasi makna inilah kritik terus dikembangkan, dalam arti kritik untuk membangun, bukan pelecehan dan penghinaan, argumentatif dan tidak mengedepankan emosi serta mampu menawarkan solusi. Landasan kritik tersebut harus didasarkan kepada bangunan pendidikan etika dengan memuncul kan konsep pendidikan etika baru yang lebih kreatif, Corak kritik ini memang belum banyak dikenal di kalangan pendidik. Muhammad Arkoun mengatakan bahwa tradisi kritik dalam dunia pendidikan belum begitu dikenal dalam wilayab pendidikan, baik guru dengan guru, guru dengan siswa dan sebaliknya.33
f. Pendekatan Sistem Komparatif
Komparatif adalab suatu pendekatan dengan cara memban-dingkan dua konsep pendidikan etika atau lebih dengan target mengambil keunggulan suatu konsep atau mempertegas kan-dungannya. Perbandingan bisa juga terhadap praktik pendidikan melalui lembaga-lembaganya. Lebih jauh lagi, perbandingan dapat terjadi sesama ayat Alquran tentang pendidikan etika, sesama hadis pendidikan, ayat pendidikan dengan hadis pendidikan, sesama sejarah pendidikan, orientasi pendidikan, bahkan jika perlu studi banding antara sistem pandidikan etika Islam dengan sistem pendidikan etika Kristen.
Untuk sebuah negara Indonesia yang baru berkembang perlu dilakukan perbandingan pendidikan antarkabupaten/kota, antar-provinsi dan antarnegara yang sudah maju. Pendekatan ini telah dipakai dalam berbagai disiplin ilmu dalam dunia pendidikan. Seperti perbandingan agama (muqdranat al-actydn), perbandingan mazhab (muqarcmat al-mazahib), tafsir muqdran (perbandingan) dan lainnya. Khusus dalam pendidikan etika, ada disiplin ilmu per¬bandingan atau disebut studi komparatif. Hanya saja hingga saat ini semangat memperoleh konsep perbandingan untuk dimiliki bangsa ini belum dapat dikembangkan secara maksimal.
g. Pendekatan Sistem Dialogis
Dialogis adalah pendekatan dalam menggali pemikiran pen-iikan etika dengan tanya jawab yang dilakukan oleh sekumpulan orang atau pakar berdasarkan argumentasi-argumentasi ilmiah. Dalam pembinaan etika, seseorang tidak bisa melepaskan upaya dialogis, yaitu dialog dari instansi terkait, guru dengan guru, guru dengan siswa dan sebaliknya. Nurcholis Madjid menegaskan bahwa suatu pengembangan pemikiran tidak mungkin tanpa adanya dialog. Hakikat sejarah pemikiran pendidikan etika adalah kelangsungan dialog integral, yaitu dialog berdasarkan iman, yang tidak lepas dari konteks sejarah.
Selama ini ada kesenjangan antara konsep teoretis dengan normatif. Untuk itu dibutuhkan adanya dialog agar terjadi saling pengertian antara konsep teoretis empiris dengan konsep normatif dalam dunia pendidikan. Secara teologis pendekatan ini memiliki sandaran yang kuat. Dalam pendidikan Islam dengan berdasarkan Alquran terdapat kata-kata yang menggambarkan dialogis, di antara lafaz yang digunakan adalah yas alunaka, saalaha, fas alu dan sebagainya, demikian juga dalam al-hadis.
Pertanyaan dalam ayat dan hadis tersebut biasanya dilan-jutkan dengan jawaban. Dari jawaban ini didapatkan pengetahuan-pengetahuan. Dalam pembinaan etika juga harus seperti itu sehingga terjadi komunikasi dua arah yang akurat, dimengerti siswa dan dimengerti semua kalangan yang membutuhkan.
h. Pendekatan Sistem Intuitif
Intuitif adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan cara mencari bantuan atau petunjuk, setelah melalui pemikiran-pemi-kiran yang mendalam. Para pakar pendidikan kontemporer mengakui bahwa intuitif dapat dipakai sebagai sumber dan cara memperoleh pengetahuan. Ziauddin Sardar mengungkapkan, formulasi ilmu kontemporer bukan hanya menyintesiskan apa yang disebut dengan “sains keagamaan” dengan “sains sekular”, fisik dengan meta/isife, tetapi harus menempatkan inspirasi dan intuitif pada inti pengetahuan.
Meskipun demikian, intuitif sebagai realitas yang berhubungan dan sering dialami manusia tidak bisa diingkari meskipun oleh pemikir Barat sendiri. Bahkan sebagian dari mereka menempatkan intuitif pada posisi yang istimewa. Nietzsche memandang intuitif sebagai inteligensi yang paling puncak. Maslow memandangnya sebagai pengalaman puncak yang harus terus dibina dan dikem-bangkan.
Bagaimanapun intuitif merupakan potensi manusia yang besar. Oleh karena itu, permasalahan-permasalahan etika dapat digali dan dipecahkan melalui intuitif.
i. Pendekatan Sistem Al-Hikmah
Al-Hikmahn menjadi acuan etika filsafat Islam, yaitu alternatif yang menawarkan pembinaan etika. Dalam menghapus dikotomi wujud transendental versus empiris, pendekatan al-Hikmah tidak harus mengingkari keberadaan dunia empiris untuk kemudian larut dalam panteisme ala Leibnitz atau Hegel, tetapi memosisikan dunia empiris pada proposisinya sebagai ciptaan Tuhan, yaitu manusia sebagai subjek pengetahuan. Konsekuensinya, segenap entitas dalam dunia empiris, termasuk proses pencapaian penge-=tahuan manusia itu sendiri tunduk kepada hukum-hukum alam sunnatullah) yang ditetapkan Sang Pencipta, justru bukan sebagai vang dipersepsikan manusia.
Konsepsi al-Hikmah rnemperkenalkan pendekatan holistik Tang menjadikan seluruh potensi intelektual dan psikologis ma-ausia terpadu secara integral menuju sumber pengetahuan itu stndiri, yakni Allah Swt. Pandangan ini berimplikasi visi pendidik-£j secara menyeluruh terhadap keterikatan dan ketergantungan •akhluk sebagai objek pengetahuan dengan Sang Pencipta. Dari EH;, pembinaan etika memprioritaskan iman sebagai prinsip ^r.onk dan unsur praepistemik yang dapat menjamin fungsiona-Eais. akal budi dan potensi-potensi intelektual lainnya secara Brat dan tepatguna
Prinsip-prinsip pendidikan etika dalam al-Hikmah harus berdasarkan wahyu dan keimanan, sebab kebenaran yang bersifat pengetahuan al-Hikmah yang utuh dan integral adalah persesuaian antara penalaran objektif dengan jiwa, naluri, hati dan sanubari yang memperoleh bisikan Ilahi. Dari sinilah pembinaan etika dapat dikembangkan. Ini telah sesuai dengan tradisi bangsa Indonesia yang selalu mengutamakan konsep al-Hikmah.
Dari pendekatan-pendekatan ini, metode pembinaan secara preventif, kuratif dan konstruktif paling tepat diterapkan untuk meluruskan, membina, membimbing ke arah etika yang baik. Pembinaan etika tidak sebatas pembiasaan perilaku baik, tetapi lebih dari itu dapat pula dipakai pendekatan aspek psikologi menuju kebahagiaan dan keserasian hidup di dunia dan akhirat.
Alquran yang menjelaskan tentang metode pembinaan etika melalui pendekatan-pendekatan di atas dapat dijelaskan sebagai
1) Pembinaan etika dapat mendorong manusia untuk meng-gunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mempelajari gejala-gejala kehidupan dirinya dan alam sekitarnya: Maka apakah mereka tidak memerhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? dan bumi bagaimana ia dihamparkan? Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan (QS Al-Gha-syiyah [88]: 17-21).
2) Pembinaan etika dapat mendorong manusia untuk meng-amalkan ilmu pengetahuan dan mengaktualisasikan keimanan dan ketakwaannya dalam kehidupan sehari-hari. Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Ankabut [29]: 45).
3) Pembinaan etika dapat menumbuhkan jiwa teladanan sebagai contoh yang baik sebagai media untuk dapat meniru suatu pekerjaan (aktivitas). Sesungguhnya telah ada pada (din) Rasulullah itu suri teladan ;. ^ng baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS Al-Ahzaab [33]: 21).
4) Pembinaan etika dapat memberi cerita-cerita yang mengandung keteladanan yang akan dapat membangkitkan emosional dan kesadaran untuk berbuat lebih baik.
Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu’, dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orangyang beriman (QS Huud [11]:120).

Sumber buku Pengantar Studi Etika M. Yatimin Abdullah

Posted by MYTULISAN On 16.59 No comments READ FULL POST
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube
All-Published

    Blogger news

    Free Music Online
    Free Music Online

    free music at divine-music.info

    Blogroll

    About